5:46 PM

Sehati Sepikir, Bukan Perpecahan

Sehati Sepikir, Bukan Perpecahan
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tahun A : Minggu, 27 Januari 2008
Bacaan : Yes. 9:1-4; Mzm. 9:1-9; I Kor. 1:10-17; Mat. 4:12-23

Di Mat. 4:12, Injil Matius menyaksikan: “Menyingkirlah Yesus ke Galilea. Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau di daerah Zebulon dan Naftali”. Ungkapan “menyingkir” dapat berarti: pindah tempat, melakukan hijrah, menarik diri atau menjauh dari tempat semula. Jadi di Mat. 4:12 Tuhan Yesus berpindah tempat yang semula Dia tinggal di Nazaret, tempat Dia dibesarkan kemudian Dia menuju tempat yang baru di Kapernaum, Galilea. Di Yes. 9:3 nabi Yesaya menyebut daerah Galilea atau tanah Zebulon dan Naftali sebagai daerah yang suram dan negeri yang terjepit. Tetapi kelak negeri yang suram dan terjepit itu akan melihat Terang yang besar, yaitu: “Tetapi tidak selamanya aka ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu Tuhan merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain”. Sehingga kedatangan Tuhan Yesus ke Kapernaum yaitu di tanah Zebulon dan Naftali pada hakikatnya merupakan penggenapan dari nubuat nabi Yesaya. Sehingga orang-orang di Kapernaum, yaitu tanah Zebulon dan Naftali akhirnya mereka dapat melihat terang yang besar di dalam diri Kristus. Itu sebabnya di Mat. 4:15-16 menyaksikan penggenapan dari nubuat nabi Yesaya, yaitu: “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain; bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang”.

Apabila kita memperhatikan latar-belakang keadaan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka sangat jelas dari kitab nabi Yesaya dinyatakan sebagai tempat yang pernah direndahkan dan dihukum oleh Tuhan. Dari peta Palestina, kita dapat melihat bahwa tanah Zebulon dan tanah Naftali berada di sebelah barat danau Genesaret yang meliputi pula wilayah Efraim, sehingga tanah Zebulon dan Naftali masuk dalam wilayah Galilea. Dalam perang Syro-Efraimi yang terjadi pada tahun 734-733 sM, daerah Galilea termasuk Kapernaum yang terdiri dari Zebulon dan Naftali mengalami kerusakan yang paling parah. Wilayah taklukan tersebut dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan Asyur dan sebagian besar penduduknya diangkut ke kerajaan Asyria. Itu sebabnya wilayah Kapernaum dan Galilea akhirnya dikuasai oleh orang-orang kafir bangsa Asyria. Umat Israel di Galilea memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan hal-hal yang baru. Sehingga tidak mengherankan jikalau tanah Zebulon dan Naftali disebut oleh nabi Yesaya sebagai “wilayah bangsa-bangsa lain” yang hidup dalam kegelapan, negeri yang suram dan terhimpit. Selain tanah Zebulon dan Naftali mengalami pendudukan bangsa Asyria, mereka juga mengalami keadaan yang penuh dengan kesusahan yang sangat berat. Gambaran kesusahan tanah Zebulon dan Naftali adalah: “Mereka akan lalu lalang di negeri itu, melarat dan lapar, dan apabila mereka lapar, mereka akan gusar dan akan mengutuk rajanya dan Allahnya; mereka akan menengadah ke langit, dan akan melihat ke bumi, dan sesungguhnya, hanya kesesakan dan kegelapan, kesuraman yang mengimpit, dan mereka akan dibuang ke dalam kabut” (Yes. 7:21-22). Namun pada akhirnya saat Tuhan Yesus datang ke Kapernaum, dan memasuki wilayah Galilea, orang-orang di tanah Zebulon dan Naftali memiliki pengharapan baru sebab mereka melihat Terang yang besar. Kini Messias yang telah dinubuatkan oleh nabi Yesaya telah hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. Bahkan i daerah mereka yang dahulu terhimpit, suram dan penuh kegelapan, kini dijadikan oleh Tuhan Yesus untuk melaksanakan karya penyelamatanNya. Di tempat yang terkutuk dan tanpa masa depan itu telah diubah oleh Tuhan Yesus sebagai tempat Dia memberitakan firman: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 4:17).
Dari Mat. 4:12, kita dapat mengetahui alasan yang menyebabkan Tuhan Yesus harus pindah tempat dari Nazaret ke Kapernaum yaitu karena Dia telah mendengar Yohanes Pembaptis ditangkap dan dipenjarakan oleh Herodes Antipas. Walau daerah Kapernaum masih merupakan wilayah dari kerajaan Herodes Antipas, tetapi daerah Kapernaum di Galilea berada di wilayah perbatasan, sehingga manakala Herodes Antipas mau menangkap Dia, maka Tuhan Yesus dapat bergerak cepat menuju wilayah kerajaan Filipus. Ini berarti daerah Galilea dipilih oleh Tuhan Yesus secara khusus. Dia menganggap daerah ini selain aman dari kejaran tentara Herodes Antipas, juga di sana Tuhan Yesus dapat membuat pemulihan bagi seluruh penduduknya. Itu sebabnya Tuhan Yesus memberitakan firman, yaitu: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 4:17). Daerah Galilea yang semula berada dalam kesuraman dan dosa kekafiran serta sinkretisme tersebut dibawa oleh Tuhan Yesus kepada pembaharuan hidup, yaitu pertobatan; sebab kini di dalam Kristus, kerajaan Allah berkenan hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. Masa penghukuman dari Allah telah lewat, sebab kini Tuhan memberi pengharapan dan masa depan yang baru bagi mereka. Allah tidak hanya selalu menghukum (punishment) mereka, tetapi juga Dia memperlihatkan rahmat dan kasihNya yang mau mempercayai (trust) mereka untuk hidup sebagai anak-anak dari kerajaan Allah.

Rahmat dan kasih Tuhan yang memberi pemulihan pada hakikatnya juga rahmat yang mau mempercayai (trust) mereka untuk menjadi kawan sekerjaNya. Sehingga di Mat. 4:18, Tuhan Yesus memanggil dua orang untuk menjadi muridNya, yaitu Petrus dan Andreas. Kemudian di Mat. 4:21, Tuhan Yesus juga memanggil 2 orang lain lagi untuk menjadi muridNya, yaitu Yakobus dan Yohanes anak-anak dari Zebedeus. Keempat orang murid Tuhan Yesus tersebut semula adalah para nelayan yang sedang menangkap ikan di danau Genesaret. Tetapi kini Tuhan Yesus berkenan memilih dan menjadikan mereka sebagai para muridNya. Kepada mereka, Tuhan Yesus berkata: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat. 4:19). Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes semula hanya rakyat jelata yang selalu mengalami kehidupan yang suram dan gelap. Tetapi kini mereka diberi kepercayaan oleh Tuhan Yesus untuk menjadi muridNya. Mereka diperkenankan oleh Tuhan Yesus untuk menjadi para saksi dan kawan sekerjaNya yang melihat dan mengalami karya keselamatan Allah yang dinyatakan dalam diri Tuhan Yesus. Situasi hidup mereka yang semula ditandai oleh perendahan dan hukuman dari Allah karena dosa-dosa yang telah diperbuat oleh para leluhurnya, kini kehidupan mereka diubah oleh Tuhan Yesus sehingga kehidupan mereka dilimpahi oleh rahmat dan keselamatan Allah. Bukankah pemilihan daerah Galilea, yang mana tanah Zebulon dan tanah Naftali sebagai wilayah dari pelayanan Tuhan Yesus pada hakikatnya mau menyatakan bahwa Allah berkenan memilih apa yang tidak berarti dalam pandangan manusia? Allah di dalam Kristus pada hakikatnya berkenan memilih umat yang dahulu hidup dalam kegelapan, kesuraman dan serba terhimpit untuk menjadi umat yang dapat melihat Terang yang besar secara langsung. Mereka diperkenankan oleh Allah untuk berhadapan dan melihat secara langsung diri Kristus, yaitu sang Messias yang telah dinanti-nantikan oleh para nabi selama ribuan tahun lamanya. Bahkan kini Kristus berkenan memilih orang-orang di Galilea untuk menjadi muridNya. Justru dalam peristiwa ini terlihat nyata bahwa Tuhan Yesus tidak memilih para muridNya dari wilayah kota besar seperti Yerusalem. Rahmat Tuhan senantiasa melampaui perhitungan, ukuran dan penilaian manusia. Allah justru berkenan memakai orang-orang sederhana, yang semula hidup dalam kesuraman dan terhimpit untuk menjadi orang-orang pilihan dan kawan-sekerjaNya, agar mereka dapat menjadi berkat dan saksi Allah dalam lingkup yang lebih luas.

Sikap kita justru sering sebaliknya. Sikap kita sering didominasi oleh sikap “menghukum” (punishment) tanpa ampun. Apabila kita menjumpai orang yang melakukan kesalahan, kita cenderung untuk membuat stigma yang sifatnya kekal kepada pribadinya, sehingga seakan-akan dosanya tidak pernah terampuni. Tidak demikian sikap Allah dalam menghadapi orang-orang yang pernah bersalah di hadapanNya. Hukuman Allah senantiasa diikuti oleh kasih dan rahmatNya, sehingga Allah berkenan memulihkan dan memberi harapan baru kepada umat yang dahulu pernah meninggalkan Dia. Itu sebabnya orang-orang Galilea justru dipilih oleh Tuhan Yesus untuk mengalami kehadiranNya secara langsung, sebab Tuhan Yesus telah berpindah tempat dari Nazaret untuk tinggal di tengah-tengah mereka. Orang-orang Galilea dalam hal ini adalah Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes diberi kepercayaan (trust) untuk menjadi murid dan kawan sekerja Kristus. Sikap Kristus inilah yang menyebabkan perubahan besar dan pemulihan bagi kehidupan mereka. Bahkan dengan sikap Kristus yang mempercayai dan memakai mereka tersebut telah memungkinkan terjadinya pertumbuhan komunitas jemaat sebab orang banyak kemudian berbondong-bondong mengikuti Kristus. Daya rekat atau sifat kohesif dari cikal bakal komunitas jemaat yang dibentuk oleh Tuhan Yesus pada hakikatnya didasari oleh kuasa kasihNya yang memulihkan, yang memberi pengharapan, dan yang memberdayakan mereka. Jadi selama Kristus dijadikan pusat dan sumber bagi seluruh kehidupan mereka, maka persekutuan dan ikatan kasih dalam komunitas mereka tetap terpelihara dengan sehat. Selama mereka hanya mengikuti Kristus sebagai Terang Besar, maka perjalanan hidup mereka sebagai para pribadi dan juga sebagai persekutuan jemaat akan tetap diberkati oleh Allah. Setiap jemaat akan tetap seia-sekata dan sehati sepikir manakala Kristus menjadi fokus dan tujuan hidup mereka.

Tetapi dalam perjalanan sejarah gereja, ternyata gereja-gereja Tuhan sering tidak menjadikan Kristus sebagai pusat dan tujuan hidupnya. Gereja-gereja Tuhan justru sering menjadikan pemimpinnya sebagai yang diidolakan, bahkan pemimpin umat dikultuskan sedemikian rupa. Kita dapat melihat banyak contoh para pelayan Tuhan yang secara sadar atau tidak sadar sering mencoba mengkondisikan anggota jemaatnya untuk bergantung kepada dirinya. Dalam hal ini mereka menyatakan dirinya sebagai “hamba Tuhan” yang telah memperoleh karunia dan akses khusus untuk berbicara dengan Kristus. Mereka sering membuat berbagai kesaksian bagaimana mereka telah dipilih secara khusus oleh Tuhan sehingga perkataan mereka memiliki kuasa untuk bernubuat dan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kemungkinan yang lain dari sikap kultus individu tersebut adalah karena beberapa anggota jemaat memiliki kelompok yang gemar mendewa-dewakan pemimpinnya. Tampaknya keadaan inilah yang meracuni kehidupan jemaat di Korintus. Di I Kor. 1:12 rasul Paulus menegur sikap dan kecenderungan jemaat Korintus, demikian: “Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakan Kristus terbagi-bagi-bagi?” (I Kor. 1:12). Mereka memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk membentuk kelompok atau golongannya masing-masing dengan pemimpin yang mereka anggap paling unggul. Itu sebabnya di antara mereka ada yang mengklaim sebagai pengikut dari Paulus, sebagian mengklaim sebagai pengikut dari Apolos, dan sebagian mengklaim sebagai pengikut dari Petrus. Itu sebabnya kehidupan jemaat di Korintus ditandai oleh perpecahan dan di antara mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi berbagai golongan yang saling meniadakan pihak lain. Dalam kondisi perpecahan itu rasul Paulus berkata: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia-sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (I Kor. 1:10). Jadi manakala Kristus tidak dijadikan sebagai pusat hidup dan pegangan satu-satunya, maka kehidupan jemaat yang telah dibentuk oleh Kristus dapat terpecah-belah menjadi berbagai kelompok atau golongan. Jemaat yang dibentuk oleh Kristus agar keluar dari situasi kesuraman, kegelapan dan terhimpit oleh kuasa dosa agar mereka diubah dan dipulihkan Tuhan untuk menjadi umat yang dilimpahi rahmat keselamatan Allah. Tetapi jemaat juga dapat berubah kembali (set back) menjadi sekumpulan orang-orang yang hidup menurut cara duniawi manakala mereka mengabaikan Kristus dengan mengkultus-individukan pemimpin umat. Akibatnya mereka tidak lagi berperan sebagai kawan sekerja Allah, tetapi justru mereka berubah menjadi para lawan Allah. Mereka tidak lagi menyediakan diri sebagai alat dalam karya keselamatan Allah; tetapi mereka justru telah memperalat karya keselamatan Allah untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Syukurlah dalam situasi perpecahan itu, rasul Paulus tidak tergoda untuk memperkuat golongan atau orang-orang yang mendukung atau memujanya. Sebaliknya justru rasul Paulus kemudian menegur setiap golongan agar mereka semua hanya tertuju kepada Kristus sebagai kepala jemaat. Bukankah dalam situasi perpecahan jemaat yang mana seorang pemimpin didukung oleh golongannya sering memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan situasi agar dia makin dikultus-individukan? Pemimpin umat yang demikian pada hakikatnya tidak layak lagi melayani Tuhan di tengah-tengah jemaat, sebab telah terlihat dengan jelas motivasi dia; yaitu sebenarnya dia bukan untuk melayani Tuhan dan mewujudkan karya keselamatan Allah, tetapi dia melayani jemaat untuk mencari kepentingannya sendiri. Dalam hidup berjemaat, pemimpin umat dapat berarti seorang yang berjabatan pendeta, tetapi juga seorang penatua atau pengurus komisi-komisi. Apabila kita menempatkan Kristus sebagai kepala jemaat, maka kita wajib menolak para pemimpin yang secara sengaja telah memanfaatkan dukungan anggota jemaat untuk kepentingan dirinya. Sebab prinsip pemilihan Kristus kepada orang-orang yang menjadi muridNya pada hakikatnya adalah bersedia meninggalkan segala sesuatu barulah mereka mengikut Dia. Di Mat. 4:22 disaksikan sikap murid-murid dari Galilea dalam menjawab panggilan Tuhan Yesus, yaitu: “Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia”. Manakala kita mau meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Kristus, maka pastilah kita akan mengutamakan kepentingan Kristus dan karya keselamatan Allah. Sehingga segala ambisi, kepentingan diri dan penonjolan diri telah kita tinggalkan agar kita dapat makin mempermuliakan Kristus.

Jadi manakala dalam kehidupan kita masih diwarnai oleh berbagai macam perpecahan dan pertengkaran; apakah perpecahan dan pertengkaran dalam kehidupan keluarga, pergaulan dengan anggota masyarakat, pekerjaan dan berjemaat sesungguhnya kita belum berhasil mempraktekkan makna “meninggalkan segala sesuatu” dan mengikut Kristus. Sebab dari situasi perpecahan dan pertengkaran tersebut, kita telah memberi andil dan memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan diri kita sendiri. Akibatnya kita menuai hidup berupa kesuraman, kegelapan dan terhimpit sebagaimana pernah dialami oleh umat Israel yang tinggal di Galilea. Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya Allah telah menghukum kita dengan merendahkan kita. Tetapi rahmat dan belas kasihan Allah akan dinyatakan apabila kita mau segera bertobat dengan meninggalkan segala egoisme diri. Pada saat kita mau bertobat, maka kita akan diperkenankan oleh Allah untuk kembali melihat Terang besar yaitu keselamatan yang telah dinyatakan di dalam Kristus. Bahkan Kristus berkenan akan memakai kita kembali untuk menjadi kawan sekerjaNya. Sebab tidak selama-lamanya Allah menghukum, tetapi Dia juga mau memulihkan kita dan mempercayai kita untuk melakukan karya kasihNya yang mulia. Jika demikian, bagaimanakah kehidupan saudara saat ini? Apakah kehidupan saudara masih ditandai oleh perpecahan dan pertengkaran? Jadikanlah Kristus sebagai pusat dan tujuan hidup kita satu-satunya, maka kita akan bersedia untuk meninggalkan segala sesuatu bagi kemuliaan namaNya sehingga kita dapat hidup dalam damai-sejahtera Allah. Amin.

0 comments: