6:11 AM

Unsur-Unsur Tata Ibadah

UNSUR UNSUR TATA IBADAH

Di Gereja/Jemaat tertentu, Kebaktian Remaja memakai tata ibadah yang sama dengan kebaktian umum, namun di tempat lain ada yang tidak memperhatikan tata ibadah. Bagaimanakah sebaiknya? Kita perlu mengenali dan memahami unsur-unsur yang ada dalam liturgi, agar kita mengerti mengapa liturgi itu disusun demikian, apa makna tiap unsur, sehingga kita dapat mengikuti dan menghayatinya.

Prinsip tata ibadah adalah dialog antara jemaat dengan Tuhan, dan antara jemaat itu sendiri. Maka unsur-unsur tata ibadah juga merupakan dialog antara jemaat dan Tuhan (diwakili oleh pelayan kebaktian) serta dialog di antara jemaat sendiri. Namun demikian, acap kali terjadi pelayan kebaktian tidak hanya mewakili Tuhan, tetapi juga mewakili jemaat, misalnya ia menaikkan doa, mengajak menyanyi jemaat. Akibatnya, prinsip dialog itu kurang nampak. Kekurangan lain yang sering terjadi adalah jemaat menganggap ibadah merupakan hubungan secara pribadi dengan Tuhan, sehingga ia kurang merasakan kebersamaan dan dialog antara seluruh jemaat dengan Tuhan.
Ada empat pokok besar dalam liturgi, yakni;
1. Kita merasakan kehadiran Allah.
2. Kita mendengar Allah bersabda.
3. Kita menjawab Allah dengan persembahan.
4. Kita bersedia diutus untuk mengasihi dan melayani.

Keempat pokok besar itu ada dalam liturgi GKJ dan GKI, sekalipun dengan urutan yang berbeda. Selanjutnya secara lebih rinci akan kita lihat unsur unsur liturgi yang dipakai oleh GKJ dan GKI, yaitu;

1. Panggilan untuk beribadah.
Panggilan untuk beribadah merupakan inisiatif Allah yang memanggil manusia berdosa. Jadi, dasar kita beribadah adalah panggilan Allah, bukan inisiatif atau kemampuan manusia. Secara fisik, dikalangan orang Yahudi panggilan untuk beribadah diwujudkan dengan suara terompet untuk mengumpulkan orang. Kemudian gereja memakai lonceng, bel, kenthongan atau nyala lampu. Namun demikian, panggilan untuk beribadah perlu juga diwujudkan secara lisan, misalnya dengan membacakan Mazmur atau dengan nyanyian pendahuluan.

2. Votum
Votum merupakan pengakuan kehadiran Allah di tengah umatNya, sehingga diletakkan pada bagian permulaan kebaktian. Votum merupakan pernyataan amanat dan kuasa Allah. Ibadah ini tidak akan berlangsung tanpa kehadiran Allah sendiri. Rumusan votum biasanya diambil dari Mazmur 124:8, yaitu;
“Pertolongan kita adalah di dalam nama Tuhan
yang menjadikan langit dan bumi “
Ayat ini menunjukkan pengakuan Daud akan pertolongan Tuhan, tatkala ia ada dalam bahaya. Tak ada wilayah di luar kekuasaan Tuhan, sebab Dialah yang menjadikan langit dan bumi. Jika ayat ini kembali diperdengarkan dalam ibadah, kita dapat memiliki perasaan hormat, syukur, sikap berserah dan bersandar pada pertolongan Tuhan. Karena itu, votum perlu dihayati dengan sungguh-sungguh dan jangan dianggap entheng atau sekedar pelengkap.

3. Salam (Salutatio)
Salam biasanya diucapkan langsung sesudah votum, dengan rumusan;
Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus (Roma 1:7).
Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai engkau (II Tim 1:2)
Ada dua macam pengertian tentang salam:
Yang pertama, salam ini merupakan salam sejahtera dari Allah untuk umatNya. Oleh karena itu, seorang pendeta mengucapkan salam dengan mengangkat tangan kanannya ke atas, dan jemaat menjawab “Amin” (artinya: sungguh dan pasti). Dalam pengertian yang pertama ini kata “damai sejahtera” atau syalom (bahasa Ibrani) berarti pengharapan agar si penerima salam damai itu dihindarkan dari bahaya.
Yang kedua, salam ini merupakan salam damai diantara anggota jemaat, sehingga diucapkan secara bersahutan yaitu jemaat menjawab “dan menyertai saudara juga”. Dalam pengertian yang kedua ini salam merupakan tanda persaudaraan. Jadi, jemaat tidak perlu menundukkan kepala.
Kata “kasih karunia” atau kharis (bahasa Yunani) berarti sukacita, kesenangan, indah, menarik. Jadi, ada suatu pengharapan agar si penerima kasih karunia itu memiliki hidup yang penuh sukacita, kesenangan, indah, dan menarik.

4. Introitus
Terdiri dari nas/ayat pendahuluan dan nyanyian. Maksudnya ialah untuk menyatakan sifat yang khusus dari kebaktian jemaat dalam hubungannya dengan Tuhan (dalam tahun Gerejawi atau tema khotbah hari itu). Setelah Firman Tuhan itu dibacakan, jemaat menjawabnya dengan nyanyian yang sesuai.

5. Nyanyian
Ada macam-macam nyanyian dalam liturgi, yaitu nyanyian pujian (biasanya diawal), nyanyian pengakuan dosa, nyanyian doa, nyanyian janji/tekad dan sebagainya. Macam-macam nyanyian ini harus dipakai sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya, dan dengan irama yang seharusnya. Penghayatan akan nyanyian yang benar dan indah dapat menyentuh hati, baik yang menyanyikan maupun orang di luar yang mendengarnya. Sebaliknya lagu yang dinyanyikan asal asalan atau tidak tepat akan kurang membangun penghayatan iman.

6. Pengakuan Dosa dan Pemberitaan Anugerah
Terdiri dari doa dan nyanyian pengakuan dosa, yang menggambarkan kerendahan manusia di hadapan Tuhan, sekaligus menjawab panggilan Tuhan yang mau menerima manusia berdosa, menyelamatkannya, dan memperbaharui kehidupannya. Dosa dosa yang diakui semestinya jelas dan kongkrit, bukan sekedar dikatakan “ampunilah dosa dan kesalahan kami”. Sebab dosa yang konkrit membawa kita pada pertobatan yang konkrit pula, sedangkan dosa yang tidak kongkrit mengakibatkan pertobatan yang tak jelas. Dosa tidak hanya secara pribadi, tetapi juga secara komunal (kelompok), yaitu dosa sebagai keluarga, sebagai gereja, sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan negara, bahkan sebagai manusia; pikiran, sikap, perkataan dan perbuatan.

7. Petunjuk Hidup baru.
Merupakan nas/ayat yang menunjukkan pembaharuan hidup setelah pengampunan dari Allah, sebab pengampunan dosa bukan akhir perjalanan hidup manusia. Pengampunan dari Allah selalu memanggil manusia untuk memperbaharui kehidupannya. Petunjuk hidup baru hendaknya sesuai dengan tema khotbah, sehingga menunjang kesatuan Firman hari itu. Di beberapa jemaat, pada waktu petunjuk hidup baru disampaikan, jemaat menerimanya dengan berdiri, sebagai pernyataan SIAP melaksanakan kehendak Tuhan.

8. Epiklese
Epiklese adalah doa untuk memohon pimpinan Roh Kudus agar Firman Allah dapat diberitakan dan didengarkan dengan baik. Kita menyadari bahwa ada banyak gangguan dan godaan terhadap konsentrasi mendengarkan firman. Demikian juga seringkali manusia mengeraskan hati dan tidak mau berubah sesuai dengan Firman Tuhan. Untuk itu diperlukan pimpinan Roh Kudus, agar kita dapat mengerti dan bersedia melaksanakan Firman Tuhan. Dengan demikian Roh Kudus mengubah huruf yang mati (dari sebuah buku yang disebut Alkitab) menjadi huruf yang hidup, yang berbicara dan berdialog dengan manusia.

9. Pembacaan Alkitab
Bagian dari Alkitab yang dibaca merupakan dasar khotbah, dan diakhiri dengan kata-kata dari Lukas 11:28 “ yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan yang memeliharanya!”. Kemudian jemaat menyambut dengan menyanyikan Haleluya (Pujilah Tuhan). Pada minggu minggu kesengsaraan Kristus, Haleluya diganti Hosiana (= Selamatkanlah kami sekarang!).

10. Khotbah
Bagi gereja-gereja reformasi, khotbah merupakan bagian sentral dari kebaktian, sehingga memakan waktu yang paling panjang. Namun demikian, lamanya khotbah tidak boleh lebih dari 25-30 menit. Khotbah adalah penyampaian Firman Tuhan, maka khotbah mesti berdasar pada bagian dari Alkitab dan sudah dipelajari atau ditafsirkan secara bertanggungjawab, untuk dikontekstualkan dalam hidup kita masa kini. Jadi, khotbah bukanlah nasihat atau pidato atau ceramah, melainkan suatu uraian berdasarkan pada Firman Tuhan. Akan tetapi, khotbah juga bukan sekedar penyampaian tafsiran atau hal-hal yang berkaitan dengan konteks zaman dahulu, melainkan khotbah harus selalu segar dan relevan untuk hidup nyata sekarang ini. Maka, pengkhotbah semestinya menyampaikan Firman secara menarik, tetapi bukan sekedar lucu. Jemaat pun diharapkan mendengar dengan tekun dan menerimanya dalam hati dan pikiran, lalu memiliki tekad baru untuk melakukannya.

11. Saat Teduh
Saat teduh adalah saat untuk merenungkan hidup masing-masing dengan bercermin pada Firman Tuhan yang baru saja diberitakan. Diharapkan setiap orang menerapkan Firman itu dalam hidup masing-masing secara kongkrit, sehingga timbullah tekad dan kesanggupannya untuk melaksanakan Firman secara nyata. Ada yang biasa mengisi saat teduh dengan musik instrumental atau solis/paduan suara/vokal group, yang diharapkan menyanyikan lagu yang menunjang tema khotbah. Akan tetapi, ada pula yang menghendaki agar saat teduh merupakan saat hening/sunyi tanpa bunyi apapun, perhatian sepenuhnya pada diri manusia di hadapan Allah.

12. Sakramen
Sakramen (artinya “tanda”) sangat erat hubungannya dengan pemberitaan Firman. Khotbah adalah Firman yang diberitakan (dengan kata-kata), sedangkan sakramen adalah Firman yang dilihat dan dirasakan. Yang dimaksud sakramen dalam gereja reformasi (Protestan) adalah Baptis Kudus (anak dan dewasa) dan Perjamuan Kudus. Sakramen dapat diselenggarakan sebelum atau sesudah pemberitaan Firman. Ada kebaktian remaja yang juga menyelenggarakan sakramen perjamuan, tetapi ada juga yang tidak (jadi, remaja yang sudah sidhi harus mengikuti perjamuan kudus dalam kebaktian umum). Baptis Kudus adalah tanda bahwa seseorang yang percaya kepada Yesus dibenamkan ke dalam air untuk disucikan dan diampuni, lalu ia keluar lagi dari dalam air sebagai manusia baru. Yang penting adalah air dipakai sebagai lambang Baptisan dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, entah selam atau percikan bukanlah masalah prinsipil, melainkan hanya perbedan cara. Demikian pula dalam perjamuan Kudus, cawan anggur yang dipakai dapat berupa satu cawan besar yang diedarkan untuk semua orang, bisa juga berupa sloki/gelas kecil-kecil untuk tiap orang masing-masing. Yang penting adalah makna perjamuan Kudus, yaitu tanda dan penghayatan akan Yeus Kristus yang telah mengorbankan tubuh dan darahNya untuk manusia dan dunia ini.

13. Pengakuan Iman
Pengakuan Iman merupakan pengakuan iman seluruh jemaat sebagai bagian dari gereja yang kudus dan esa, bukan hanya pengakuan iman pribadi. Maka pengakuan iman diucapkan bersama-sama oleh jemaat sambil berdiri. Calvin menempatkannya sesudah khotbah sebagai jawaban jemaat atas Firman yang telah diberitakan. Isi pengakuan iman adalah pernyataan percaya kepada Allah. Karena Pengakuan Iman dinyatakan tidak hanya di hadapan Tuhan, namun juga dihadapan manusia, maka sikap jemaat adalah mengucapkan secara mantap dengan pandangan lurus ke depan. Yang biasa diakui Pengakuan Iman Rasuli, namun juga diakui Pengakuan Iman Nicca Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius. Inti ketiganya sama, yaitu pengakuan iman kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.

14. Persembahan
Persembahan merupakan tradisi sejak Perjanjian Lama, yaitu persembahan korban. Persembahan diberikan sebagai ungkapan rasa syukur jemaat atas berkat dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka, sekaligus ungkapan kesediaan untuk mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan (Roma 12:1). Untuk praktisnya, persembahan syukur diberikan dalam bentuk uang. Sebelum kantong persembahan diedarkan, biasanya ada ayat pembimbing. Akan tetapi, seringkali terjadi pada saat ayat dibacakan, anggota jemaat malah sibuk menyiapkan uang persembahan. Sebaiknya uang telah disiapkan dari rumah, sehingga tidak merepotkan pada saat pengumpulan persembahan dan dapat lebih menghayati arti persembahan.

15. Doa syafaat
Merupakan doa jemaat untuk orang lain, bangsa dan negara, dan dunia ini. Apa yang didoakan semestinya hal-hal yang kongkrit dan krusial pada saat itu, dan tidak sekedar mengulang kata-kata yang sama setiap minggunya. Biasanya doa syafaat diakhiri dengan mengucapkan Doa Bapa Kami secara bersama-sama.

16. Pengutusan
Pengutusan berarti Tuhan mengutus jemaat untuk melakukan Firman Tuhan yang sudah didapat dalam kebaktian itu. Jadi, kebaktian tak dapat dipisahkan dari hidup sehari-hari. Firman tidak hanya didengar dan dipuji keindahannya, namun harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Jemaat diutus ke dalam dunia, seperti para murid diutus Yesus untuk memberitakan Kerajaan Allah yang diajarkan dan diwujudkanNya. Jemaat diutus untuk menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama

17. Berkat
Berkat adalah pemberian Tuhan yang dikaruniakan kepada jemaat, agar dapat menghadapi hidup sehari-hari dengan kekuatan yang Tuhan berikan. Pendeta memberikan berkat dengan kedua tangan diangkat dan telapak tangan terbuka menghadap ke bawah. Jemaat menerimanya dengan berdiri dan kepala tertunduk, kemudian mejawab dengan mengucapkan /menyanyikan Haleluya, amin”. Berkat semestinya diterima dengan penghayatan oleh jemaat. Karena itu, tidak tepat jika jemaat menerima berkat sambil berkemas-kemas hendak pulang.
Rumusan berkat biasanya diambil dari II Korintus 13:13, namun bisa juga dari Bilangan 6:24-25, sebagai berikut:
Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian (II Kor. 13:13).
Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau; Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia;
Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera (Bil. 6: 24-25).

Setelah mengerti makna tiap unsur dari liturgi, kita dapat melihat betapa indah dan mendalamnya makna liturgi kebaktian kita. Karena itu, kekayaan liturgi ini janganlah diabaikan dan dibuang, melainkan hendaknya dihayati. Yang menjadi masalah biasanya adalah rasa bosan terhadap liturgi, karena sudah menjadi kebiasaan/ritunitas tanpa penghayatan, baik dari segi pemimpin ibadah maupun jemaat. Maka penyelesaiannya bukanlah dengan membuang /tidak memakai liturgi sama sekali, melainkan dengan meningkatkan penghayatan terhadap liturgi dan menyusun liturgi yang bervariasi tanpa melupakan unsur-unsur penting di dalamnya.

5:34 AM

SETYA TUHU DHATENG SABDANIPUN GUSTI

SETYA TUHU DHATENG SABDANIPUN GUSTI
Yesaya 40 : 1 – 8
Oleh: Pendeta Yosafat Ari Wibowo
Pelayanan di Jojog

Gesang wonten ing negri manca, malah minangka tiyang ingkang nembe nampi paukuman (kabucal) ing pengasingan temtunipun mbekta dumatheng gesang ingkang boten mbingahaken/ngremenaken. Ing kawontenan mekaten lajeng tuwuh pitakenan, kapan badhe rampung? Harapan gesang sangsaya udhar, malah saged mbekta gesang kapitadosan sangsaya nglokro, gampil nyalahaken tiyang sanes.

Bangsa Yehuda gesang ing salebeting pembuangan ing negri Babylon punika minangka paukumanipun Gusti Allah, karana bangsa punika nerak karsa lan dhawuhipun Gusti. Paukuman sampun dipun lampahi lan Gusti kepareng badhe paring pangluwaran, pangapunten dhumateng umatipun. Prasetyanipun Gusti Allah kangge umat Yehuda dipun ngendikaken dening nabi Yesaya;
1. Supados bangsa Yehuda wangsul dhateng Gusti Allah ingkang sejatos, sanes dewa-dewa ingkang mujudaken brahala-brahala ingkang mbekta dhateng karisakan.
2. Yehuwah punika Allah ingkang kagungan pangwaos, ingkang kepareng nitahaken langit lan bumi, ingkang kagungan kuwaos ngentas umatipun saking paukuman saking bangsa Babylon.

Kalih prekawis punika saestu mujudaken janjinipun Gusti Allah ingkang dipun jangkepi. Gusti kepareng ngagem bangsa sanes kangge mitulungi lan mbekta umatipun wangsul dhateng negrinipun piyambak, kauwalaken saking pangwaosipun bangsa Babylon. Gusti Allah ngagem bangsa Persia kangge ngawonaken bangsa Babylon lan nguwalaken umatipun saking pamengkunipun Babylon.

Prakawis punika kaprasetyaken ing ayat 6b lan ayat 8; umat manusa iku, kabeh iku kayadene suket lan sakehing kaendahane kaya kembang ing ara-ara. Ayat 8; suket dadi aking, kembang dadi alum, nanging pangandikane Allah tetep salawas-lawase”. Saking pangandika punika ngemu teges;
1. Bilih gesanging manungsa punika ringkih lan tansah ewah malah namung sekedhap, manawi tanpa pangrimatipun Gusti Allah ing gesang, manungsa punika ing salebeting gesang ingkang muspra.
2. Sabdanipun Allah saged mbekta gesangipun para pitados saged kuwawi gesang ing pepadhang, boten ing salebeting semplah, nanging gesang ingkang saestu ngadhahi pengajeng-ajeng, punika wujuding berkah lan pitulunganipun Gusti.
3. Sinaosa kasunyatan suket dadi aking lan kembang alum kados ingkang dipun lampahi umatipun Gusti ingkang ngalami kasangsaran, kaprihatosan lan kangelan ing gesangipun, Gusti paring panglipur: “ nanging pangandikane Gusti Allah tetep salawas-lawase”

Kasangsaran, kaprihatosan lan kesulitan gesang ingkang dipun alami dening bangsa punika saestu minangka piwucal ingkang awis reginipun lan endah jalaran gesanging umat supados tansah nggondheli sabdanipun Allah ingkang gesang.
Gusti Allah kagungan tujuan ingkang suci lan wicaksana ing salebeting kasangsaran, ingkang ndarbeni artos pemurnian gesanging pitados.

Sumangga pangandikanipun Allah ing wanci punika sesarengan kita tampi;
1. Sabdanipun Allah dadosa panglipur pepenget kangge lelampahan gesanging pitados kita minangka putraning Allah.
2. Kita tinimbalan supados kita nilar cara gesang ingkang salah/ing salebeting dosa, saged nampi kasangsaran pinangka kasunyatan ingkang nggadhahi piwucal ingkang sae.
3. Menawi ingkang dipun lampahi para pitados, (umatipun Gusti) badhe tumuju dhateng gesang ing kaunggulan/kemenangan sesarengan kaliyan Gusti, sauger kita tansah celak manut ing sadaya dhawuh-dhawuhipun Gusti.

Mugi Gusti mitulungi lan mberkahi kita ing lelampahing gesang kita tumuju masa depan ingkang mbingahaken. AMIN.

5:53 PM

Menjadi Manusia Baru Yang Terus Menerus Diperbaharui

MENJADI MANUSIA BARU
YANG TERUS MENERUS DIPERBAHARUI

Oleh: Pendeta Yosafat Ari Wibowo

Bacaan : Yohanes 20: 1-18
Tujuan : Anggota Gereja/ Jemaat menghayati relasi baru dalam mewujudkan peran relasi bergereja di tengah masyarakat.


Jemaat yang terkasih di dalam Tuhan Yesus Kristus,

Istilah, “sudah jatuh tertimpa tangga” bagi kita adalah istilah yang sering kita dengar dan sangat kita pahami maksudnya. Yaitu dimana seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan dan masih harus menghadapi kesulitan2 yang beruntun. Misalnya; seorang bapak memboncengkan anaknya naik motor. Tanpa sengaja dia menabrak seorang anak dan harus membiayaai perawatan anak tersebut di rumah sakit. Sedangkan dia sendiri bersama anaknya juga mengalami kesakitan dan harus dirawat di rumah sakit, termasuk motornya rusak dan harus diperbaiki. Untuk ongkos itu semua dia harus meminjam kepada seseorang namun peristiwa tragis dia alami. Uang hasil pinjaman tersebut dirampok.
Contoh lain lagi; seorang pengusaha berspekulasi dalam usahanya. Dengan harapan dapat untung dan berkembang usahanya dia berani untuk mengeluarkan modal yang besar. Namun tak di duga dia gagal dalam rencana itu. Perusaannyapun bangklrut, dia harus menjual barang berharga miliknya untuk menutup hutang-hutangnya. Anak-anaknya putus sekolah dan menjadi berandalan. Lebih tragis lagi, istrinya meninggalkannnya.
Keadaan “sudah jatuh tertimpa tangga” tersebut dapat pula kita temukan dalam kesaksian Alkitab. Tokoh Alkitab, Bapa Ayub, bisa dikatakan dia “sudah jatuh tertimpa tangga”. Tak bisa dibayangkan penderitaan Ayub. Anak2nya mati, harta benda dan kekayaannnya musnah, sahabat2nya melecehkan dia, dan istrinya meninggalkan dia.
Dalam kondisi semacam itu, orang mudah sekali untuk jatuh dalam keputusasaan. Rasanya tiada jalan lagi untuk menyelesaikan persoalan dan tiada daya lagi untuk bangkit menjadi manusia yang tegar. Tidak sedikit dalam kondiosi semacam ini hati dan pikiran seseorang dibutakan oleh kondisi yang menyedihkan. Mereka kehilangan kepercayaan diri. Mereka kehilangan relasi dengan Allah dan sesama.
Jemaat yang terkasih di dalam Tuhan Yesus Kristus,
Kondisi semacam itu rasanya juga tengah dirasakan oleh Maria Magdalena dalam perikop kita ini. Bisa dipahami jikalau Maria Magdalena mengalami kepahitan dan keputusasaan. Pertama, dia adalah seorang perempuan Yahudi, yang dalam budaya dia berada di bawah kaum laki-laki dan sering mengalami diskriminasi. Kedua, dia dikenal sebagai seorang pelacur, wanita penggoda. Ketiga, dari nama Magdalena muncul pengertian pezinah, dia harus menanggung hal itu sepanjang dia menyandang nama Magdalena. Dengan keadaan seperti ini sungguh berat bagi maria Magdalena menghadapi kehidupannya.
Namun Maria sangat bersyukur, ketika ia mengalami perjumpaan dengan Kristus dan murid2nya ternyata tidak demikian sikap yang diperlihatkan Yesus kepada dirinya! Yesus tidak menjauhi dan menghakimi sebagai manusia yang harus memiliki beban sepanjang hidupnya. Tuhan Yesus bersedia menolong beban penderitaannya, melepaskannya dari kuasa 7 roh jahat yang membelenggu Maria Magdalena (Luk 8:2; Mrk 16:9). Yesus mengasihinya, memberikan pengampunan dan menawarkan pembebasan! Sebagai seorang Maria Magdalena, bahkan makin terang dalam keyakinannya bahwa dalam pengampunan Kristus, ia sekarang dijadikan Manusia Baru!
Pengalaman iman yang dialami oleh Maria Magdalena sangat menyentuh bagi kita, sebab pengalamannya juga menggambarkan pengalaman iman kita dalam mengikut Yesus. Pada mulanya maria Magdalena mempunyai iman yang egois. Hal ini nampak dari rasa dukanya yang mendalam ketika Yesus mati dan ternyata mayatNya tidak ada pada tempatnya, dia larut dalam dukacitanya. Maria hanya memikirkan apa yang dia lihat dan dia rasakan yaitu kesedihan ditinggal dan kehilangan Yesus, sampai2 dia lupa akan segala perkataan yang poernah dikatakan oleh Yesus, bahwa Dia akan bangkit dari mati. kasihNya kepada Kristus tidak diragukan lagi, mengingat pengalaman hidupnya yang di tolong oleh Yesus. Tetapi kasih dan iman kepada Yesus tersebut menjadi tidak berkembang ketika dia hanya terpaku pada pikirannya sendiri bahwa Yesus sudah mati dan mayatnya diambil orang. “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan!”, pernyataan Maria tersebut menunjukkan betapa kasihnya kepada Yesus dan pikirannya hanya terpaku pada peristiwa itu saja. kita sering pula memiliki iman yang egois dalam mengikut Yesus. Ketika kita hanya menyimpan iman kepada Yesus tersebut hanya sebatas dalam lingkup pikiran saja tanpa mau menyatakan dalam tindakkan dan kasih kepada sesama menjadikan kita beriman egois.
Beruntung-lah bagi Maria Magdalena. Ketika Maria masih juga berpijak pada apa yang ia pikirkan, dan bahkan menyangka Yesus sebagai penunggu taman, maka Yesus meluruskan sikap iman Maria dengan sapaan, dan Yesus memanggil dengan namanya: “Maria!” Sebuah sapaan Yesus yang mengembalikan fokus iman Maria kepada kuasa Yesus. Di sini Tuhan Yesus memperlihatkan fungsi dan perannya sebagai Gembala yang baik, yang memanggil domba-domba-Nya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya (Yoh. 10:3). Kita tentu bisa memahami tindakan seorang bapak memanggil anak balitanya dengan suara yang agak keras dan tegas yang bertujuan untuk menghentikan aktifitasnya yang mungkin membahayakan dirinya. Misalnya, seorang anak balita bermain-main dengan benda berbahaya dan kalau dibiarkan akan mencelakakan dirinya. Maka dengan keras dan tegas bapak ittu memanggil; “tole....” atau namanya “Michael...” ketika panggilan itu terdengar maka akan menghentikan anak itu dari aktifitasnya yang membahayakan dirinya. Kita sering seperti anak balita tersebut dalam kehidupan kita, terlalu asyik dengan kesibukan dan aktifitas kita sehingga kita kehilangan pemahaman yang benar tentang Yesus dan relasi dengan sesama jadi berkurang. Oleh karena itu suara Allah sangat kita butuhkan untuk menghentikan keadaan tersebut dan kembali fokus pada Allah. Pergumulan iman yang berfokus kepada kuasa Yesus yang bangkit adalah iman yang hidup, sebuah pergumulan yang dikuasai sukacita, kecerahan, pengharapan, kesembuhan, keselamatan dan kehidupan.
Dalam iman yang berfokus pada Yesus, Maria Magdalena terus menerus diperbaharui menjadi manusia baru. Betapa tidak! Sekarang, Maria tidak perlu lagi mencemaskan relasinya dengan Tuhannya. Ia akan senantiasa beroleh penyertaan kasih Tuhan yang telah memulihkan relasinya dengan Tuhan. “...sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu...” (ay 17b). Inilah Rahmat Allah yang menjadikan relasi umat dan Tuhannya sungguh terwujud. Pernyataan Bapa-Ku dan Bapamu, Allah-Ku dan Allahmu, menyatakan betapa Yesus mengangkat harkat mereka yang percaya kepada-Nya.
Menghayati keberadaan sebagai manusia baru dari rahmat Allah yang terwujud dalam perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit, Maria bahkan diutus untuk mewartakan semua ini! Kepada Maria sekarang dipercayakan sebuah misi untuk mewartakan! Maria dimungkinkan untuk memiliki iman yang berkarya di dalam kuasa Tuhan. Ia yang semula ada dalam cengkeraman beban kehidupan berat, menjadi bahan olokan, mendapat perlakuan tidak adil dan kesedihan terus membelenggunya, kini dengan tiada mampu ditahan, dan dengan keberanian ia bersaksi: “...Aku telah melihat Tuhan!” Iman yang berkarya itu membuahkan kabar baik bagi sesama! Iman yang berkarya itu menghadirkan kesaksian dalam relasi yang mensejahterakan sesama dan menghadirkan pola kehidupan yang benar dan adil di tengah hidup sesamanya!
Dari berita Paskah kali ini kita mendapat keteladanan dari Maria Magdalena, seorang wanita yang menemukan hidup baru dalam Kristus.
Patutlah kita merenungkan sikap Maria dan cinta kasihnya yang begitu besar kepada Tuhannya; karena meskipun para murid telah pergi meninggalkan makam, ia tetap tinggal. Ia tetap mencari Dia yang tidak ia jumpai, dan sementara ia mencari, ia menangis; terbakar oleh rasa kasih yang hebat kepada Tuhannya, ia merindukan Dia yang dikiranya telah diambil orang. Dan demikianlah terjadi bahwa perempuan yang tinggal untuk mencari Kristus adalah satu-satunya yang pertama melihat Dia.
Kesetiaan dan ketekunan yang terus diperbaharui di dalam Tuhan diperlukan dalam setiap perbuatan baik, juga dalam mengatasi segala persoalan berat hidup rumah-tangga kita dan juga di tengah relasi bermasyarakat! Bukti kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan kini perlu kita perjuangkan dalam langkah kita hari ini dan selamanya! Amin.

5:53 PM

Memberi Diri Untuk Melayani

Khotbah Sulung Pendeta Yosafat Ari Wibowo

MEMBERI DIRI UNTUK MELAYANI
(Yohanes 12:26)

Centro Campo-Liga Italia dan Bundes Liga Jerman kini tengah berlangsung. Apakah Saudara termasuk penggemarnya? Tapi paling tidak saudara tahu tentang kedua liga yang tengah digandrungi oleh masyarakat kita. Ada dua unsur yang kita tahu dalam tiap pertandingan, termasuk sepak bola, ada pemain dan penonton. Ada 22 orang pemain di tengah lapangan yang tengah berjuang keras menggiring bola ke gawang lawan. Mereka berlari dan berlari, jatuh-bangun, terpeleset, keseleo, benturan fisik, bahkan tidak jarang pada setiap pertandingan disertai dengan mengucurnya darah. Sebaliknya ada puluhan ribu orang yang duduk menonton pemain yang tengah berjuang keras di arena pertandingan. Mereka bersorak dan menyanjungnya ketika permainan bagus, namun cacian, celaan, ejekan dan umpatan diberikan ketika permainan kurang memuaskan penonton. Para penonton begitu enteng dan emosional melihat kurang baiknya permainan sebab mereka sendiri tidak turun sebagai pemain, tidak merasakan kandisi lapangan, tidak menghadapi betapa sulitnya melalui rintangan lawan.
Gereja adalah sebagai sebuah gelanggang dalam dunia yang berkarya bagi pekerjaan penyelamatan Allah, memelihara keselamatan warga dan memberitakan keselamatan bagi setiap orang. Dalam gelanggang karya penyelamatan Allah tersebut setiap orang percaya dipanggil untuk menjadi pemain yang langsung terjun dalam pekerjaan itu. Tuhan tidak menghendaki orang percaya berperan sebagai penonton atau komentator, yang bangga melihat kemajuan gerejanya namun mencela, dan “ngrasani” ketika pelayanan gereja kurang memuaskan. Setiap orang percaya harus tahu akan panggilannya, mereka dipanggil untuk melayani dan bukan untuk dilayani, orang percaya harus memberi diri bagi panggilan Allah.
Keharusan memberi diri dikatakan oleh Yesus kepada orang yang hendak menemuiNya pada waktu menjelang perayaan Paskah di Yerusalem. Banyak orang telah mendengar dan melihat mujizat yang dilakukan Yesus (membangkitkan Lazarus), mereka tahu bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan oleh Allah, karena itu mereka tertarik untuk bertemu dengan Yesus.
Menanggapi maksud orang-orang yang ingin bertemu dan hendak mengikutNya, Yesus memberitahukan hal sebenarnya yang harus diperbuat oleh seorang yang akan mengikut Dia. Orang yang mau mengikut Yesus harus mengikuti jalan yang dilaluiNya, yaitu jalan salib. Tidak banyak yang tahu bahwa Mesias yang datang harus menderita dan mati. Memberikan diri bagi orang lain, itulah jalan yang dilakukan oleh Yesus sehingga orang yang mengikutNya harus melakukan hal yang sama, memberi diri bagi orang lain.
Ada tiga hal (ay. 24-26) yang dapat saya tangkap dari tanggapan Yesus kepada orang yang mau menemui dan mengikutNya;
1. Melalui kematian datanglah kehidupan. Yesus mengatakan hanya melalui kematian akan datang kehidupan. Supaya dapat berguna lebih baik lagi maka maka biji gandum harus ditanam (dikubur) dalam tanah, baru dari “kematian” biji gandum tersebut hadir kehidupan baru yang menghasilkan buah.
Demikian juga orang yang mau mengikut Yesus harus mematikan dan mengubur ambisi-ambisi pribadi dan kepentingan pribadi, baru mereka dapat melayani Tuhan. Seorang pengikut Yesus tidak dapat “menghidupkan” sesamnya selama ia masih dikuasai ambisi dan kepentingan pribadi. Seorang pelayan Tuhan tidak akan berhasil mengajak warganya untuk hidup sederhana dan peduli, kalau dia sendiri sibuk memperkaya diri dan tidak peka terhadap kebutuhan orang lain. Melayani Yesus berarti memberi diri untuk mati dari kematiannya datang kehidupan yang menghidupkan orang lain.
2. Pengorbanan: jalan hidup kristen. Tuhan Yesus mengatakan bahwa dengan mengorbankan hidup orang akan mendapatkan hidup. Yesus memperingatkan bahwa orang yang memelihara hidupnya pada akhirnya akan kehilangan hidupnya, dan orang yang mengorbankan hidupnya pada akhirnya akan mendapatkan hidup. Pengorbanan merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang yang mau mengikutNya dan Yesus mencontohkannya, Ia mengorbankan diriNya untuk manusia. Bagi yang mau mengikut Yesus harus menempuh jalan hidup yang dilalui Yesus, jalan pengorbanan diri bagi orang lain.
Orang Kristen menyadari bahwa mengikut Yesus harus rela berkorban baik berkorban waktu, tenaga, pikiran, maupun dana.
Namun kesadaran itu hanya sebatas dalam kesadaran saja sebab ketika mereka harus menyatakannya dalam perbuatan banyak yang tidak berani menempuh jalan tersebut. Tidak sedikit orang Kristen yang menghindarkan diri dari masalah bot repoting pasamuwan, menghindar untuk menjadi mejelis gereja, menghindarkan diri untuk masuk dalam komisi-komisi, menghindarkan diri dari kepanitiaan, menghindarkan diri dari tugas-tugas pelayanan, serta menghindari tanggung jawab sebagai warga gereja. Mereka memilih untuk menjadi penonton yang bersorak dan mencela dalam kehidupan bergereja. Melayani Yesus berarti berjalan memberikan diri sebagai korban bagi pekerjaan Allah.
3. Melalui ketaatan dalam pelayanan datanglah berkat Tuhan. Orang yang mau melayani dan mengikut Yesus harus taat dalam hidup pelayanannya. Bukan hanya ketika dalam keadaan suka, namun kemanapun Yesus berada pengikutNya harus berada juga. Yesus lebih banyak berada pada mereka yang menderita dan terbuang, dan ditengah-tengah merekalah pengikut Yesus harus berada. Menghibur mereka yang menderita, menguatkan mereka yang lemah, dan menjadi teman bagi mereka yang terbuang. Banyak yang menganggap sebagai suatu kerugian orang yang mau bergaul dengan mereka yang menderita dan tersingkir. Namun Yesus sendiri mengatakan bahwa mereka yang taat melayaniNya, mereka dihormati Bapa, berkat Tuhan ada pada mereka.
Seorang pengikut Yesus diuji ketaatannya dalam pelayanan ketika mereka harus menghadapi hal-hal yang berat, ketika mereka menerima kritikan pedas, ketika mereka menerima perlakuan kasar, ketika mereka menerima fitnah. Ketaatan dalam pelayanan ditunjukkan oleh Yesus ketika Dia menjalani pekerjaan yang diembannya, pekerjaan penyelamatan Allah melalui kayu salib. Melayani Yesus berarti memberi diri berjalan dalam ketaatan dan ketekunan dalam pelayanan.

Kepada orang-orang yang mau mengikutnya Yesus mengajarkan sesuatu yang baru. Yesus mengajarkan bahwa hanya melalui kematian datanglah kehidupan, bahwa hanya dengan mengorbankan kehidupan orang mendapatkan kehidupan, dan hanya melalui ketaatan dalam pelayanan datanglah berkat Tuhan. Pengajaran Yesus ini merupakan panggilan hidup Kristen.
Kita yang mengaku mengikut dan hendak melayaniNya maka kita harus mau melakukan panggilan Yesus tersebut. Kita harus mau memberikan hidup kita, kita harus mengorbankan kepentingan kita, dan kita harus taat dalam pelayanan, setelah itu baru dapat disebut pengikut dan pelayan Yesus. “Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (II Kor.5:15). Itulah jalan yang harus ditempuh oleh seorang pengikut Kristus, hidup bukan untuk dirinya sendiri tapi bagi Tuhan, memberi diri bagi orang lain.
Terlebih lagi jikalau saat ini GKJ Cilacap memanggil dan manahbiskan pendeta dalam diri saya, maka banyak harapan yang ingin diwujudkan dalam jemaat ini. Keberadaan saya di jemaat ini saya yakini sebagai panggilan Allah untuk melayani jemaatNya. Panggilan tersebut menuntut diri saya untuk berjalan pada jalan panggilan Allah; mengubur ambisi dan kepentingan pribadi, pengorbanan hidup, dan ketaatan dalam pelayanan. Tanggung jawab tersebut tidak ringan, saya tidak akan sanggup mewujudkannya dengan berdasar pada kemampuan dan kekuatan saya. Tetapi jikalau saya sanggup dan mampu, maka kesanggupan dan kemampuan saya itu karena pekerjaan Allah. Firman Allah yang menguatkan setiap orang untuk berjalan dalam panggilan Allah; “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20a), Firman inilah yang meyakinkan saya untuk mengemban tugas dan tanggung panggilan Allah atas diri saya.
Panggilan dan keberadaan saya di gereja ini berarti saya bersama majelis gereja dan jemaat GKJ Cilacap dipanggil untuk Allah untuk menjadi pengikutNya yang harus memberikan diri, menjadi pemain-pemain yang harus berjuang keras bagi kedewasaan gereja dan bagi berlangsungnya pekerjaan penyelamatan Allah. Keberadaan kita, sebagai keluarga besar GKJ Cilacap, sebagai tim yang harus berlomba memenangkan pekerjaan Allah melalui gerejaNya. Karena itu marilah kita memberikan diri kita sebagai pemain-pemain yang handal, kita memberi diri untuk melayani dalam gerejaNya. Janganlah panggilan Allah ini ditanggapi dengan mengambil tempat sebagai penonton yang bisanya hanya berteriak dan mencela.
Kedewasaan jemaat dan berlangsung pekerjaan penyelamatan Allah dalam gereja tidak ditentukan oleh usia gereja kita, tidak ditentukan lamanya waktu kita terlibat dalam pelayanan gereja, ataupun oleh kemampuan kita. Namun kedewasaan tersebut terkait dengan kemauan kita untuk dipakai sebagai alatNya.
Dalam tugas panggilan Allah kita bersama-sama memikul bot repoting pasamuwan kita harus mengubur ambisi dan kepentingan pribadi dalam pelayanan, mengorbankan hidup demi pelayanan kepada Allah, serta taat dalam pelayanan. Kalau hal itu kita dasarkan pada kekuatan kita semuanya itu tidak akan dapat terwujud, tetapi ada kuasa yang akan menguatkan dan memampukan kita. Kuasa Allah, itulah yang menolong dan memampukan kita memikul tugas dantanggung jawab sebagai PengikutNya, hingga pada akhirnya kita sanggup memberi diri untuk melayani. AMIN.

5:53 PM

Menjadi Pengikut Setia

Menjadi Pengikut Setia
Bacaan : Lukas 9:51-62
Pola asuh yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah: “Ikutlah Aku!” Kepada seorang pemungut cukai bernama Matius, Tuhan Yesus memanggil dia dengan berkata: “Ikutlah Aku!” (Mat. 9:9). Demikian pula setelah kebangkitanNya Tuhan Yesus berkata kepada Petrus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku” (Yoh. 21:22). Pola pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah mengajak orang-orang untuk berjalan mengikuti jalan hidupNya. Bagi Kristus, kebenaran dan keselamatan dari Allah bukan hanya sekedar suatu “transfer” (pemindahan) ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya. Tetapi kebenaran dan keselamatan dari Allah merupakan jalan hidup yang perlu dilewati bersama dengan Dia yang adalah Tuhan dan Juru-selamat. Karena itu untuk mengetahui dan memperoleh rahasia kebenaran dan keselamatan dari Allah, tidak ada cara lain kecuali kita bersedia mengikuti Kristus dan jalan-jalanNya secara langsung. Ini berarti mengikut Tuhan Yesus merupakan kesediaan manusia untuk berjalan bersama dengan Dia dalam penderitaan, kematian, kebangkitan dan kenaikanNya ke sorga. Dengan demikian makna mengikut Tuhan Yesus berarti bersedia untuk mengikut Dia dalam penderitaan, kematian, kebangkitan dan kenaikanNya ke sorga.
Apabila prinsip teologis ini diabaikan, maka yang timbul dalam pikiran banyak orang untuk memahami makna mengikut Tuhan Yesus hanya berarti mengikut Dia dalam kemuliaanNya ke sorga saja. Bukankah banyak anggota jemaat dan umat Kristen saat ini masih menghayati makna mengikut Tuhan Yesus hanya untuk menginginkan berkat dan rezeki serta kemakmuran, tetapi mereka melupakan untuk mengikut Dia dalam penderitaan, kematian dan kebangkitanNya? Sehingga tidak mengherankan jikalau mereka beramai-ramai dengan sikap yang antusias berkata: “Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi”. Ucapan yang sama juga diucapkan oleh salah seorang murid Tuhan Yesus. Dia berkata kepada Tuhan Yesus: “Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi” (Luk. 9:57). Keinginan dari murid Yesus tersebut seakan-akan sangat rohani dan setia, sebab dia akan “mengikut Yesus ke mana saja Dia pergi”. Padahal dia tidak menyadari bahwa mengikut Tuhan Yesus berarti dia harus siap dan bersedia untuk menderita, ditolak, dihina dan hidup dalam kekurangan materi. Itu sebabnya Tuhan Yesus memberi jawaban: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Luk. 9:58). Ungkapan Tuhan Yesus tersebut mau menyatakan bahwa Dia sebenarnya tidak memiliki apa-apa secara duniawi. Dia adalah Anak Allah yang mulia, tetapi sekaligus Dia adalah Anak Manusia yang miskin. Jadi bilamana seseorang mau mengikut Kristus, berarti dia harus bersedia untuk tidak terikat dengan apapun secara duniawi sehingga dia dapat berjalan bersama dengan Kristus tanpa halangan. Sebab halangan atau hambatan utama bagi banyak orang untuk mengikut Kristus adalah mereka seringkali merasa memiliki banyak hal dan terikat dengan semua hal, sehingga hati mereka tidak mampu terarah secara penuh kepada jalan yang ditempuh oleh Tuhan Yesus.
Jawaban Tuhan Yesus yang berkata: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Luk. 9:58) juga hendak mengingatkan bahwa Dia sebelumnya telah ditolak oleh orang-orang Samaria ketika Dia hendak melewati daerah mereka (Luk. 9:52-53). Jadi mengikut Dia berarti bersedia untuk ditolak oleh sesama tanpa harus menjadi marah dan tersinggung. Sebab kedua murid Tuhan Yesus, yaitu Yakobus dan Yohanes berkata dengan marah ketika orang-orang Samaria menolak, sehingga mereka berkata: “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” (Luk. 9:54). Bukankah kita juga seringkali bersikap seperti kedua murid Tuhan Yesus tersebut, yaitu kita menjadi marah manakala kehadiran dan karya pelayanan kita ditolak oleh sesama? Karena itu kita kemudian mohon agar Tuhan menjatuhkan hukuman dan murkaNya kepada orang-orang yang membenci dan menolak iman Kristen dan pelayanan gerejawi. Makna mengikut Kristus berarti kita dipanggil untuk menjadi orang-orang yang kaya dengan pengampunan kepada setiap orang yang melawan dan yang membenci kita. Sebab mengikut Kristus berarti kita menjadi orang-orang yang kaya dalam spiritualitas dan kasih, walau mungkin kita hidup serba miskin dan penuh kekurangan secara duniawi. Apa artinya kita mengikut Kristus dengan memiliki kekayaan yang sangat berlimpah, tetapi ternyata spiritualitas dan kasih kita sangat miskin?
Apabila orang pertama menyatakan ingin mengikut Tuhan Yesus ke mana saja Dia pergi tetapi dengan pemahaman teologis yang salah, maka kepada orang kedua, Tuhan Yesus berkata memanggil dia, yaitu: “Ikutlah Aku!” Ketika Tuhan Yesus berkata kepada Matius, si pemungut cukai, yaitu: “Ikutlah Aku!” maka disebutkan di Mat. 9:9 demikian: “Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia”. Tetapi ternyata orang kedua tersebut berkata: “Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku” (Luk. 9:59). Perkataan orang kedua tersebut sepertinya menggemakan kesetiaan seorang anak kepada orang-tuanya di Sepuluh Firman, yaitu: “Hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu” (Kel. 20:12). Padahal di balik alasan yang sangat rohani itu, tersirat suatu penolakan halus bahwa dia tidak dapat mengikut Kristus selama ayahnya masih hidup. Jadi selama ayahnya masih hidup, dia tidak dapat mengikut Kristus dan menjadi muridNya. Sebab mungkin ayahnya tidak percaya dan menolak Kristus, karena itu dia tidak ingin melukai hati ayahnya. Jadi dia akan mengikut Kristus setelah kelak ayahnya meninggal dan dikuburkan. Halangan dia untuk mengikut Kristus adalah “kasih” yang begitu besar kepada ayahnya, sehingga dia memutuskan untuk tidak mengikut Kristus sementara waktu. Padahal mengikut Kristus berarti sikap seseorang yang bersedia mengasihi Kristus lebih dari pada segala sesuatu termasuk kasih kepada ayah-ibu, kakak dan adik bahkan keluarga (bandingkan Mat. 10:37-38). Selama kita masih terikat dengan berbagai kepentingan keluarga dan menjadikan kepentingan keluarga tersebut sebagai fokus yang utama dan mutlak, maka kita tidak mungkin dapat mengikut Kristus. Jawaban Tuhan Yesus sungguh tajam kepada mereka yang menjadikan kepentingan keluarga sebagai yang utama dan menentukan, yaitu: “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana” (Luk. 9:60).
Nada yang hampir sama juga diungkapkan oleh orang ketiga dalam hal mengikut Tuhan Yesus. Dia berkata kepada Tuhan Yesus, yaitu: “Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku” (Luk. 9:61). Orang ketiga tersebut tampaknya mengalami kesulitan untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan yang sangat pribadi dalam mengikut Tuhan Yesus. Itu sebabnya dia terlebih dahulu minta persetujuan dari keluarganya. Dia tidak dapat mengambil keputusan sendiri, sebab keluarganya yang mampu memutuskan arah atau jalan hidup dan keputusan yang harus dia ambil. Karena itu orang ketiga tersebut sebenarnya tidak memiliki kematangan spiritualitas yang siap mengikut Kristus dengan segala konsekuensinya. Itu sebabnya Tuhan Yesus memberi jawab: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Luk. 9:62). Dalam pengertian tersebut, apakah orang ketiga tersebut kini sungguh-sungguh mau merespon panggilan Kristus yang berbicara kepadanya, dan dengan penuh kesadaran diri dia mampu memutuskan untuk mengikut Dia dengan segala konsekuensinya? Ketika kita terus menengok ke belakang atau masa lalu, kita tidak pernah dapat mengikut Kristus karena kita tidak memiliki visi hidup yang jelas dan bernas.
Seorang murid yang baik bukan hanya mampu menyerap semua ilmu dan pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya, tetapi juga dia sangat mengasihi gurunya dan tidak pernah meninggalkan gurunya dalam keadaan apapun juga. Apalagi ketika kita mengikut Tuhan Yesus sebagai Juru-selamat dunia. Seharusnya kita bukan hanya menjadi murid yang cerdas dan selalu mampu menyerap ajaran-ajaranNya yang penuh hikmat, tetapi juga apakah kita juga selalu setia mengikut Kristus ke manapun Dia pergi termasuk ketika Kristus menyongsong kesengsaraan dan kematianNya. Juga apakah kita selaku jemaatNya mau meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi diri kita untuk mengikut Kristus. Sebab seringkali terjadi tubuh fisik kita saja yang tampaknya mengikut Kristus, tetapi sesungguhnya roh atau jiwa kita masih terikat dengan berbagai hal yang duniawi.
Jika demikian kita perlu bertanya dengan jujur, apakah saat ini kita sungguh-sungguh telah mengikut Kristus dalam arti yang sesungguhnya? Apabila kita telah mengikut Kristus, apakah kita telah menjadikan Dia sebagai pusat dan orientasi serta tujuan hidup kita yang sesungguhnya? Jadi apakah kita rela dan ikhlas untuk menanggung semua risiko dan konsekuensi yang pahit dalam mengikut Kristus? Bahkan apakah kita tetap mau mengikut Kristus, walau mungkin orang-orang di sekitar kita menolak pelayanan dan kasih kita? Karena itu, apakah kita sungguh-sungguh ikhlas dengan penolakan atau perlawanan dari orang-orang tersebut tanpa harus membuat kita marah dan membalas yang jahat? Ataukah sikap kita dalam hal mengikut Kristus masih bersyarat, yaitu kita mau mengikut Kristus karena kita mengharapkan banyak berkat dan rezeki dalam kehidupan kita? Ataukah kita mengikut Kristus sebenarnya bukan didasari karena kemauan dan keputusan kita sendiri, tetapi karena ditentukan oleh orang lain dan keluarga kita? Jadi bagaimana sikap dan respon saudara untuk mengikut Kristus setelah mendengar firman Tuhan ini? Marilah kita sebagai umat Allah menjadi pengikut yang setia dan mengasihi Tuhan Yesus di tengah-tengah kehidupan yang saat ini telah mengabaikan kesetiaan dan kasih. Amin.
1. Jemaat Penyangga; jemaat yang dating dan menyembah secara teratur, memberikan waktu, tenaga, pikiran, dan uang.
2. Jemaat Spesial; menolong gereja bila dibutuhkan, tetapi belum tentu ke gereja.
3. Jemaat Butuh; hanya dating saat dibaptis, pemberkatan nikah dan upacara kematian (bisa sebagai yang mengadakan upacara atau yang diupacarai)
4. Jemaat Tahunan; hanya muncul pada saat Paskah dan Natal untuk memastikan apakah gerejanya masih ada di situ.
5. Jemaat Spons; jemaat yang menyerap semua berkat dan fasilitas yang disediakan gereja tanpa mau memberikannya kembali.
6. Jemaat Perusak, tukang berantem dan tukang kritik tanpa memberikan solusi.

5:53 PM

Dipakai Untuk Menyatakan Pekerjaan-Pekerjaan Allah

Dipakai Untuk Menyatakan Pekerjaan-Pekerjaan Allah
Bacaan : Yohanes. 9:1-23



Ketika para murid Tuhan Yesus melihat orang buta sejak lahirnya, mereka mengajukan pertanyaan kepada Tuhan Yesus: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:1-2). Respon dari para murid tersebut mengungkapkan persepsi teologis mereka bahwa orang yang buta sejak lahir atau orang yang sedang menyandang cacat tubuh dan kemalangan pastilah tanda dari orang-orang yang sedang mengalami hukuman dari Allah. Mereka beranggapan bahwa Allah sedang menghukum karena orang buta sejak lahir itu telah berbuat berdosa, atau paling sedikit dia menanggung hukuman Allah akibat dosa orang-tuanya. Di kitab Ayub kita juga dapat melihat persepsi teologis tersebut. Salah seorang sahabat Ayub mengungkapkan bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub disebabkan karena Ayub kemungkinan besar melakukan kesalahan atau dosa kepada Tuhan. Itu sebabnya Elifas, sahabat Ayub berkata: “Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesalahan, ia menuainya juga” (Ayb. 4:8). Persepsi teologis tersebut sebenarnya sesuatu yang universal. Hampir semua agama dan kepercayaan di dunia ini memiliki anggapan di balik penderitaan atau kemalangan, tentunya terdapat hukuman Allah. Kalau menjumpai sebuah keluarga mengalami kematian tragis, secara spontan kita sering berkata bahwa kemungkinan mereka dihukum oleh Allah. Siapa yang menabur kesalahan, pastilah dia akan menanggung hukuman; atau “mereka yang menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung” (Hos. 8:7). Dengan perkataan lain, orang yang hidup benar seharusnya tidak akan tertimpa bencana, sakit, penderitaan dan malapetaka. Sehingga apabila seseorang mengalami bencana yang besar, atau penderitaan yang begitu luar biasa, atau penyakit yang tidak tersembuhkan pastilah mereka telah melakukan kesalahan dan dosa yang begitu besar sehingga kini Allah menghukum mereka.

Tetapi realita juga menunjukkan bahwa orang yang hidup benar seperti Ayub dapat mengalami penderitaan yang sangat hebat dan memalukan. Dia telah kehilangan segala-galanya, dan kini seluruh badannya dipenuhi oleh “koreng” (penyakit kulit yang bernanah dan berbau busuk). Bahkan persepsi teologis yang selalu mengkaitkan seseorang yang menderita dengan dosa seringkali salah. Sebab orang-orang yang hidup jahat dan buruk kelakuannya sering dijumpai mereka hidup serba makmur dan sehat. Sebaliknya orang-orang yang bertindak benar, lurus jalannya, jujur dan setia seringkali menderita dan hidup miskin. Jadi tampaknya para murid Tuhan Yesus lebih cenderung memiliki persepsi teologis yang selalu mengkaitan realita penderitaan yang dialami seseorang dengan dosa atau hukuman Allah. Akibatnya yang mereka lihat dalam penderitaan orang buta sejak lahir hanyalah realita dosa dan hukuman Allah. Para murid Tuhan Yesus tidak mampu melihat realita dan dimensi lain, yaitu panggilan dan peran mereka untuk menolong mereka yang sedang mengalami kesusahan dan penderitaan. Tetapi tidak demikian sikap Tuhan Yesus dalam merefleksikan dan merespon penderitaan orang buta sejak lahir. Tuhan Yesus berkata: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh. 9:3). Dalam hal ini Tuhan Yesus tidak memposisikan penderitaan dan keadaan cacat orang buta sejak lahir sebagai bentuk dari hukuman Allah karena kesalahan dan dosa-dosanya. Demikian pula Tuhan Yesus tidak menganggap penderitaan dan cacat dari orang buta sejak lahir sebagai akibat dari kesalahan dan dosa orang-tuanya. Sebaliknya Tuhan Yesus memandang penderitaan dan cacat fisik yang dialami oleh orang buta sejak lahir secara positif. Realita penderitaan dan kebutaan dari orang buta tersebut ditempatkan oleh Tuhan Yesus dalam konteks panggilan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah. Umat percaya dipanggil Tuhan untuk berperan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah yang menyelamatkan bagi setiap orang yang menderita. Jadi umat yang percaya tidak perlu menghakimi setiap orang yang sedang menderita, miskin, sakit dan cacat fisik atau mental dengan teologi “kejatuhan” dan “keberdosaan” manusia. Sebab penerapan teologi tersebut justru sering menghambat peran umat percaya untuk melakukan karya Allah yang menyelamatkan dan memulihkan yang sedang sakit atau mengalami malapetaka.

Itu sebabnya yang dilakukan oleh Tuhan Yesus terlebih dahulu adalah menyembuhkan orang buta sejak lahir itu. Di Yoh. 9:6 disebutkan Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta itu dengan cara meludah ke tanah, dan Ia mengaduk ludahNya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta itu dan menyuruh dia untuk membasuh matanya di kolam Siloam. Orang buta sejak lahir itu akhirnya dapat melihat dunia dan kehidupan ini dengan jelas. Dalam konteks ini Tuhan Yesus menyebut diriNya dengan pernyataan: “Akulah Terang Dunia” (Yoh. 9:5). Sebagai terang dunia, Tuhan Yesus telah menunjukkan kuasaNya untuk memberi terang kepada manusia yang menderita, yaitu terang bagi mereka yang buta matanya, dan terang rohani bagi mereka yang hidup dalam kekelaman. Pekerjaan Allah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah Dia memberi pemulihan fisik agar mata orang buta tersebut dapat melihat dan melakukan berbagai kegiatan seperti sesamanya yang lain. Selain itu Tuhan Yesus juga memulihkan kehidupan orang buta tersebut secara holistik, sehingga orang buta yang telah sembuh itu dapat kembali menjalin hubungan sosial yang lebih luas, memiliki kepercayaan diri, lebih mampu bergerak secara efektif dan efisien dan mengalami karya Allah yang menyelamatkan. Makna melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah berarti kita dipanggil untuk menghadirkan karya keselamatan Allah secara utuh, sehingga kehidupan sesama dipulihkan secara menyeluruh. Namun dalam praktek kehidupan, seringkali karya keselamatan Allah hanya dipahami sebagai ranah rohaniah belaka, sedang bidang yang “sekuler” sering dianggap sebagai bidang yang serba duniawi belaka. Sehingga dalam menyikapi kehidupan ini kita sering mengalami perpecahan batin (sikap yang ambivalen), yang mana kita mungkin mampu bersikap sangat saleh dan religius saat berada di gereja; tetapi kita berubah menjadi monster yang mampu memangsa setiap sesama yang lemah ketika kita berbisnis. Menjadi seorang pemurah hati ketika di gereja, tetapi kita berubah menjadi lintah darat ketika di rumah. Padahal bidang bisnis, ekonomi, hukum, dan pekerjaan sehari-hari juga merupakan bidang-bidang kehidupan yang seharusnya dikuduskan dan menjadi lingkup dari karya keselamatan Allah. Karya keselamatan Allah dan penebusan Kristus pada hakikatnya bertujuan untuk memulihkan dan menguduskan setiap dimensi kehidupan umat manusia.

Apabila orang buta tersebut dapat mengalami karya keselamatan Allah yang holistik atau menyeluruh, ternyata tidak demikian sikap orang-orang Farisi. Mereka tidak dapat melihat karya Kristus yang menyembuhkan orang buta tersebut sebagai karya Allah sebab dianggap karya Kristus tersebut telah melanggar hukum hari Sabat. Itu sebabnya sebagian orang Farisi berkata kepada orang buta, demikian: “Orang ini tidak datang dari Allah sebab Ia tidak memelihara hari Sabat” (Yoh. 9:16). Perlu dipahami bahwa hukum hari Sabat adalah firman Tuhan yang harus ditegakkan dan ditaati oleh manusia. Tetapi ketika hukum hari Sabat itu dilepaskan dari relasi dengan kehidupan dan pergumulan manusia, sehingga menjadi suatu hukum Allah yang dicabut dari konteks kehidupan maka hukum Allah tersebut tidak dapat menjadi hukum yang memerdekakan manusia. Sebaliknya hukum Allah tersebut dapat menjadi suatu belenggu yang menghalangi Allah untuk melaksanakan karyaNya yang membebaskan dan menyelamatkan. Sebagai terang dunia, Kristus memposisikan diriNya melampaui segala ketentuan hukum Allah yang sering dipraktekkan secara kaku dan dipahami menurut standard pemikiran manusiawi belaka. Seperti sifat terang atau cahaya yang selalu menyinari setiap segi dan ruang yang ada di sekitarnya, demikian pula sifat terang dari Kristus. Terang dari Kristus selalu menyinari setiap aspek dan ruang kehidupan umat manusia secara total. Sehingga terang dari Kristus senantisa mampu menyinari dan menembus setiap dimensi kehidupan, baik kehidupan rohaniah dan maupun kehidupan sekuler. Pada sisi lain sikap orang Farisi dalam kasus penyembuhan orang buta sejak lahir hanya menempatkan hukum Allah sebagai suatu ketentuan ilahi dan tidak mampu melihat hukum Allah tersebut sebagai cahaya yang membebaskan, memulihkan dan mengangkat harkat atau martabat manusia.


Apabila kita memperhatikan dengan cermat sikap orang-orang Farisi terhadap orang buta sejak lahir tersebut, maka kita dapat melihat bahwa mereka sama sekali tidak memberikan pertolongan yang nyata atau sesuatu yang berharga untuk kebaikan orang buta tersebut. Mereka hanya bersikap menyalahkan Tuhan Yesus karena Dia telah menyembuhkan orang pada hari Sabat, dan mereka menginterogasi orang buta yang telah sembuh itu. Orang-orang Farisi tersebut tidak berperan untuk melakukan pekerjaan Allah yang menyelamatkan. Sebab bagi mereka makna melakukan pekerjaan Allah hanyalah menegakkan hukum hari Sabat. Dengan demikian pengertian “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan” sekedar melaksanakan dengan setia segala ketentuan hukum hari Sabat. Mereka tidak mampu melihat dimensi yang lebih luas yaitu penerapan “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan” dalam bentuk kasih kepada sesama. Dari sudut institusi keagamaan mereka tampil seperti “penurut-penurut Allah”, tetapi dari sudut kasih mereka belum dapat hidup sebagai “anak-anak terang”. Karena mereka tidak menampilkan suatu moral terpuji (moral excellent) yaitu buah kasih kepada sesamanya. Sehingga dari sudut pemahaman teologis rasul Paulus, sesungguhnya mereka masih hidup dalam kegelapan. Bukankah keadaan orang-orang Farisi tersebut sangat paradoks? Mereka tampil sebagai “anak-anak terang” tetapi sesungguhnya mereka masih hidup dalam kegelapan? Bukankah keadaan kita selaku umat Kristen juga sering demikian? Dari sudut institusi gereja kita adalah umat percaya yang telah ditebus oleh Kristus sehingga kita berhak menyandang gelar sebagai anak-anak Allah. Tetapi dari sudut realita, kehidupan kita ternyata masih berbuahkan kegelapan. Kita tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah yang menyelamatkan dan memulihkan orang-orang di sekitar kita apabila kehidupan kita ditandai oleh sikap yang ambivalen atau kepribadian yang serba paradoks. Dengan perkataan lain, pekerjaan-pekerjaan Allah hanya akan efektif apabila kehidupan kita ditandai oleh integritas diri, yaitu segala hal yang kita ucapkan senantiasa sesuai dengan apa yang kita lakukan. Juga segala hal yang kita yakini dan imani senantiasa sesuai dengan segala hal yang kita perbuat dalam kehidpan sehari-hari.

. Jika demikian kualitas diri yang didasari oleh sikap iman dan kasih adalah yang paling menentukan kita untuk melakukan segala “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan”. Artinya belum tentu semua “kebaikan, keadilan dan kebenaran” yang kita lakukan senantiasa berkenan kepada Tuhan, apabila makna “kebaikan, keadilan dan kebenaran” tersebut tidak lahir dari spiritualitas kasih; tetapi hanya suatu dorongan moral dan peraturan keagamaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Farisi. Bagaimanakah sikap hidup saudara? Apakah saudara melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah karena dilandasi oleh kasih sebagai cermin dari anak-anak terang; ataukah kita melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah karena sekedar dorongan untuk menutupi hal-hal yang buruk dan tingkah laku yang tidak berkenan kepada Allah? Kita semua dipanggil untuk menjadi anak-anak terang, karena Kristus Juru-selamat kita adalah Terang Dunia. Karena itu marilah kita makin teguh dan setia untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai anak-anak terang. Amin.

5:46 PM

Siap Sedia Dalam Karya Keselamatan

Siap Sedia Dalam Karya Keselamatan
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tahun C : Minggu 12 Agustus 2007
Bacaan : Yes. 1:1, 10-20; Mzm. 50:1-8; Ibr. 11:1-3, 8-16; Luk. 12:32-40

Dalam kebaktian Minggu senantiasa terdapat elemen liturgi tentang Doa Pengakuan Dosa dan kemudian dilanjutkan dengan Berita anugerah. Karena secara teologis gereja menyadari bahwa kita selaku umat Allah terus-menerus membutuhkan pengampunan dari Allah, walaupun kita semua secara hakiki telah ditebus dengan darah Kristus tetapi dalam realita kita tetap jatuh di dalam kesalahan dan dosa. Itu sebabnya dalam liturgi, gereja Tuhan menyediakan fasilitas melalui liturgi agar kita selaku umat Allah dapat mengungkapkan dan mengakui dosa-dosa atau kegagalan kita dalam melaksanakan kehendak/firman Allah; sehingga kita semua dapat menerima anugerah pengampunan dari Allah. Namun pada sisi lain kita perlu bersikap kritis dengan substansi doa pengakuan dosa yang sering kita panjatkan setiap kebaktian. Karena betapa sering substansi dosa-dosa kita tertentu ternyata tidak pernah berubah mulai kita dibaptis dan sidi sampai kini. Kita sering terjebak dalam substansi perbuatan dosa yang sama dan tampaknya tidak pernah berubah sampai pada akhir hidup kita. Mengapa hal itu dapat terjadi? Bukankah seharusnya di dalam Kristus, kita semua telah diciptakan sebagai “manusia baru” sehingga kita seharusnya telah menanggalkan manusia lama kita? Faktor utama kegagalan kita untuk hidup sebagai ciptaan baru adalah karena kita belum sungguh-sungguh untuk terus berjaga-jaga dan bersikap waspada untuk melawan kuasa dosa atau kelemahan diri kita. Jadi kita sering terjebak dengan kesalahan atau jenis dosa yang sama karena hidup kita tidak dilandasi oleh sikap waspada dan berjaga-jaga, sehingga kita selalu gagal untuk melaksanakan kehendak dan firman Tuhan.
Sikap berjaga-jaga pada prinsipnya merupakan spiritualitas yang dibangun secara sadar, bersengaja dan konsisten dengan disipilin rohani tertentu agar kita dapat tetap sadar secara penuh (fully conscious) dan menyadari segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi dengan sikap yang selalu waspada (fully aware of something). Ini berarti sikap berjaga-jaga dan waspada tidak sama dengan sikap curiga terhadap seseorang. Sebab dalam sikap berjaga-jaga dan waspada dilakukan dengan sikap sadar secara positif tetapi kritis terhadap segala sesuatu. Sedang orang yang bersikap curiga adalah orang yang lebih dikuasai dan didorong oleh perasaan negatif, bersikap subyektif, dan ketidakmampuan untuk menganalisa secara tepat suatu situasi atau pribadi sesamanya. Jadi orang yang waspada senantiasa mampu membaca situasi dan dia mengetahui segala bahaya yang harus diperhatikan, sehingga dia akhirnya dia mampu menyikapi secara tepat dan bijaksana. Di Luk. 12:35-37, Tuhan Yesus berkata: “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala. Dan hendaklah kamu sama seperti orang-orang yang menanti-nantikan tuannya yang pulang dari perkawinan, supaya jika ia datang dan mengetok pintu, segera dibuka pintu baginya. Berbahagialah hamba-hamba yang didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang”. Sikap berjaga-jaga dan waspada digambarkan oleh Tuhan Yesus dengan seseorang yang selalu memiliki pinggang yang tetap berikat sebagai tanda bahwa dia selalu siap dan sigap untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang sedang ditanganinya. Juga orang yang waspada digambarkan oleh Tuhan Yesus sebagai pribadi yang memiliki pelita yang tetap menyala, sehingga dia dapat bertindak secara efektif melaksanakan peran dan tanggungjawabnya walaupun cuaca atau keadaan tiba-tiba berubah menjadi gelap. Itu sebabnya sikap waspada merupakan cermin dari spiritualitas yang tetap mampu bersinar terang di tengah-tengah lingkungan kehidupan yang gelap dan suram. Namun ketika kita tidak waspada dan kita menjadi lengah, maka sebenarnya saat itu kita sedang berada dalam posisi lemah, pikiran yang gelap, perasaan hati yang kacau, sehingga kita kehilangan kendali atas diri kita sendiri.
Pada sisi lain sikap berjaga-jaga dan waspada bukan hanya karena kita mampu tanggap secara kritis terhadap situasi masa kini, tetapi juga kita mampu untuk mengantisipasi situasi dan perubahan yang akan datang. Itu sebabnya orang yang berjaga-jaga disebut pula sebagai orang yang menanti-nantikan dengan sigap kedatangan tuannya, sehingga dia mampu melaksanakan tugasnya dalam situasi yang serba mendadak dan tidak terduga. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus sikap menanti-nantikan tersebut dipakai untuk menunjuk kepada kesiapan seseorang menyambut kedatanganNya. Luk. 12:40, Tuhan Yesus berkata: “Hendaklah kamu siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan”. Selaku umat tebusanNya kita dipanggil oleh Kristus untuk mampu menanti-nantikan kedatanganNya dengan sikap yang siap sedia agar kita dapat menyongsong kedatangan Kristus yang tidak dapat diduga sebelumnya. Sebab manakala kita menjadi lengah untuk menanti-nantikan dengan sikap siap-sedia, maka kita tidak akan mampu untuk mengantisipasi suatu peristiwa yang datang secara mendadak. Betapa banyak orang yang menjadi “shock” karena mereka sama sekali tidak menduga suatu peristiwa atau perubahan tiba-tiba terjadi. Akibatnya mereka tidak mampu memberi respon yang tepat dengan pikiran yang jernih dan bijaksana terhadap peristiwa atau perubahan yang mendadak terjadi. Pada saat yang demikian mereka mengalami “kegagapan” dalam emosi, pikiran dan spiritualitas iman. Kepribadian mereka menjadi goyah, sehingga mereka menjadi tidak berdaya; dan akhirnya mereka lebih banyak dikendalikan oleh situasi yang buruk dan kegagalan yang sedang mereka alami. Dalam situasi demikian mereka dikendalikan oleh permasalahan dan situasi krisis yang sedang dialami.
Ketika kita menjadi lengah dan tidak mampu berjaga-jaga, maka kita akan terjebak oleh berbagai rutinitas kegiatan keagamaan tanpa mampu memahami makna yang seharusnya. Dalam kondisi yang demikian, mungkin kita masih melakukan berbagai macam kegiatan gerejawi tetapi sama sekali tidak dilandasi oleh sikap yang siap-sedia dan waspada terhadap berbagai bahaya yang sedang merongrong spiritualitas iman kita. Umat Israel yang hidup dalam konteks kitab Yesaya waktu itu juga terjebak oleh berbagai rutinitas kegiatan keagamaan dan sikap yang tidak kritis/waspada dengan diri mereka sendiri. Dengan sangat tajam, Allah menegur umat Israel melalui pemberitaan nabi Yesaya, yaitu: “Dengarlah firman TUHAN, hai pemimpin-pemimpin, manusia Sodom! Perhatikanlah pengajaran Allah kita, hai rakyat, manusia Gomora! Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak? firman TUHAN; Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai”. Mereka sangat antusias mempersembahkan hewan korban kepada Allah, tetapi mereka tidak waspada dengan kemunafikan dan berbagai watak mereka yang buruk. Padahal yang dikehendaki oleh Allah bukan sajian yang berlimpah dari berbagai hewan korban atau persembahan, tetapi yang dikehendaki Allah adalah perbuatan/tindakan yang baik dan adil kepada sesama manusia. Itu sebabnya di Yes. 1:16-17 Allah berfirman: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!”. Jadi sikap waspada dan berjaga-jaga seharusnya diwujudkan dalam sikap yang mampu tanggap dan peduli terhadap berbagai hal yang dianggap tidak adil, menentang segala bentuk sikap yang sewenang-wenang, kesediaan untuk membela orang yang tertindas dan lemah.
Dengan demikian makna sikap waspada dan spiritualitas yang berjaga-jaga bukan hanya dibangun oleh berbagai kegiatan gerejawi atau kebaktian yang dilakukan secara rutin. Sebab berbagai kegiatan gerejawi atau kebaktian tersebut juga sering dijadikan sebagai tempat “persembunyian” diri kita untuk menutupi berbagai macam kesalahan, dosa dan kemunafikan kita. Respon Allah terhadap umat Israel yang hidup dalam kemunafikan terlihat di Yes. 1:13, yaitu: “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya”. Sikap yang sama juga berlaku kepada kita. Allah juga dapat jijik dengan acara-acara ibadah atau perayaan gerejawi kita, atau pertemuan-pertemuan rapat yang kita selenggarakan apabila semua kegiatan itu hanyalah untuk mempertebal sikap egoisme diri kita sendiri. Padahal melalui berbagai kegiatan gerejawi atau kebaktian yang kita lakukan, seharusnya makin mendorong kita untuk melakukan perubahan diri dengan melakukan perbuatan yang baik dengan peduli terhadap penderitaan dan kesusahan sesama. Ibadah atau pelayanan gerejawi seharusnya menjadi media pembentukan spiritualitas iman kita, sehingga melalui ibadah atau pelayanan gerejawi tersebut makin memampukan kita untuk melakukan karya keselamatan Allah di atas muka bumi ini.
Sikap waspada dapat berubah menjadi sikap yang lengah ketika kita gagal untuk memperoleh hal-hal yang kita harapkan/yang kita inginkan. Kita dapat melihat bagaimana anggota jemaat yang semula begitu antusias dalam persekutuan dan pelayanan, kemudian mereka berubah menjadi apatis karena mereka kecewa dan marah kepada Tuhan. Dalam kekecewaannya mereka tidak lagi mampu berjaga-jaga dan waspada dengan diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Karena itu mereka tidak mampu bersikap kritis dengan berbagai harapan yang sebenarnya tidak realistis. Ini berarti sikap waspada dan berjaga-jaga membutuhkan sikap yang kritis terhadap diri sendiri. Kita perlu bersikap kritis dengan idealisme-idealisme kita, kritis dengan pola pikir dan paradigma yang berkembang dalam logika kita, kritis dengan keinginan dan gejolak perasaan-perasaan kita sendiri. Sehingga kita dapat menjadi orang percaya yang lebih realistis dan mengedepankan sikap ketaatan kepada Tuhan, walaupun berbagai harapan dan keinginan kita tersebut belum terwujud atau tidak menjadi suatu kenyataan. Itu sebabnya sikap waspada perlu dibangun dalam sikap iman. Firman Tuhan di Ibr. 11:1 berkata: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Dengan sikap iman kepada Tuhan, kita dimampukan untuk membangun harapan-harapan yang lebih realistis dan sesuai dengan rencana Allah; bukan membangun harapan menurut rencana dan keinginan kita sendiri. Sehingga kita selaku umat percaya senantiasa mengedepankan sikap taat kepada Tuhan, walaupun kita saat itu belum bahkan mungkin akhirnya tidak memperoleh apa yang kita harapkan dan inginkan. Dalam hal ini kita perlu memiliki iman menurut model Abraham yang senantiasa diuji oleh Allah dalam seluruh hidupnya. Dia diperintahkan Allah keluar dari negeri dan tanah kelahirannya menuju negeri yang belum diketahui dengan baik (Ibr. 11:8-9). Dia taat kepada firman Tuhan tentang janji keturunan baginya, walau dia sebenarnya waktu itu sudah mati pucuk (Ibr. 11:12).
Iman kepada Kristus seharusnya makin memampukan kita untuk memiliki spiritualitas yang senantiasa waspada dan berjaga-jaga, sehingga kita senantiasa siap untuk melakukan pekerjaan Tuhan dan mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang tiba-tiba terjadi. Dalam hal ini sikap waspada perlu dilakukan secara tepat dan proporsional. Sebab kewaspadaan dan sikap berjaga-jaga bukanlah suatu tujuan, tetapi lebih tepat sebagai sikap mental dan spiritualitas iman. Kita harus senantiasa bersikap waspada agar kita dapat mengerjakan karya keselamatan Allah secara efektif bagi kemuliaanNya. Apa artinya kita bersikap waspada dan berjaga-jaga, tetapi kita tidak pernah mengerjakan karya keselamatan Allah. Makna kewaspadaan yang demikian hanya melahirkan sikap yang pasif, sikap ragu-ragu dan tidak pernah mempunyai bentuk serta kontribusi sebagaimana yang diharapkan. Demikian pula apa artinya kita banyak melakukan pekerjaan Tuhan, tetapi kita tidak pernah waspada dengan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Akibatnya pekerjaan Tuhan yang mulia itu dicemooh dan kemudian menjadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitar kita. Sikap waspada dapat menjadi sikap iman ketika kita mau melandasi seluruh spiritualitas kita dengan ketaatan kepada Tuhan tanpa syarat, sebagaimana yang dilakukan oleh Abraham. Jika demikian, bagaimana sikap hidup saudara? Apakah kehidupan saudara telah dilandasi oleh sikap waspada dan selalu berjaga-jaga yang makin mendorong saudara untuk melakukan pekerjaan Tuhan di atas bumi ini? Juga, apakah kita justru terlalu serba waspada sehingga tidak ada kesempatan bagi kita untuk melakukan pekerjaan Tuhan? Ataukah sebaliknya, kita lebih sering lengah sehingga senantiasa terdapat berbagai celah/peluang bagi kuasa kegelapan mempengaruhi hidup kita? Kini marilah kita respon ucapan Tuhan Yesus yang berkata: “Hendaklah kamu siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan” (Luk. 12:40). Amin.

5:46 PM

Bersedia Dibentuk Menjadi Bejana Allah

Bersedia Dibentuk Menjadi Bejana Allah
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tahun C: Minggu, 9 September 2007
Bacaan : Yer. 18:1-11, Mzm. 139:1-6, Phil. 1-22, Luk. 14:25-33

Selaku jemaat Tuhan kita sering berdoa, membahas, dan mendiskusikan bahkan mengupayakan dalam berbagai program gerejawi agar terwujud kedatangan Kerajaan Allah di atas bumi ini, yaitu pemerintahan Allah yang membawa perubahan atau transformasi secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Namun doa dan pembahasan teologis serta berbagai upaya yang dilakukan seringkali masih terhambat oleh sikap mental/spiritualitas kita dalam memperlakukan dan merespon sesama khususnya kepada orang yang pernah melakukan kesalahan. Kita sering gagal memperlakukan sesama dengan kasih dan pengampunan Allah padahal dia sebenarnya sudah menunjukkan sikap pertobatan. Itu sebabnya sering sesama kita tidak dapat memulai hidup baru. Kita telah memberikan suatu stigma negatif yang abadi kepada dirinya. Dalam pengertian ini “stigma” diartikan sebagai: “sign of social unacceptability: the shame or disgrace attached to something regarded as socially unacceptable” (tanda penolakan sosial berupa rasa malu atau aib yang dikenakan kepada seseorang karena pernah melakukan suatu kesalahan). Sehingga dengan pemberian suatu stigma, seseorang atau sekelompok orang tidak pernah mampu membuktikan pertobatan dan kehidupan barunya. Tindakan yang mereka perbuat senantiasa dicurigai dan tidak dipercaya, sehingga seluruh itikad atau maksud baik mereka senantiasa tidak diterima dengan hati yang tulus oleh anggota masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya kita tidak akan pernah mampu mengalami datangnya kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan ini.
Di surat rasul Paulus kepada Filemon, kita dapat melihat bagaimana karya keselamatan Allah yang dinyatakan oleh rasul Paulus kepada seorang budak bernama Onesimus. Tampaknya Onesimus pernah melakukan kesalahan yang fatal kepada tuannya yang bernama Filemon. Kemungkinan Onesimus pernah mencuri atau berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Karena Onesimus merasa tidak sanggup atau merasa sangat bersalah, dia kemudian melarikan diri dari tuannya. Tentunya tindakan Onesiumus tersebut sangat merugikan Filemon, tuannya. Tetapi dalam pelariannya itu Onesimus berjumpa dengan rasul Paulus di penjara. Perjumpaan Onesimus dengan rasul Paulus ternyata membawa suatu perubahan besar dalam kehidupan pribadi Onesimus. Karena disaksikan Onesimus akhirnya dapat mengenal dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juru-selamatnya. Bahkan di ayat 10, rasul Paulus menyebut Onesimus sebagai “anaknya”. Lalu di ayat 12 rasul Paulus menyebut Onesimus sebagai “buah hatinya”. Walaupun demikian, rasul Paulus tidak menahan Onesimus untuk dirinya sendiri. Sebaliknya rasul Paulus menyuruh Onesimus kembali pulang kepada tuannya. Lebih dari pada itu agar kredibilitas Onesimus pulih kembali, maka di ayat 18-19 rasul Paulus dengan rela bersedia memberikan jaminan dan ganti rugi kepada Filemon, yaitu: “Dan kalau dia sudah merugikan engkau ataupun berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu kepadaku – aku, Paulus, menjaminnya dengan tulisan tanganku sendiri: Aku akan membayarnya”. Bahkan rasul Paulus dalam suratnya kepada Filemon menyampaikan suatu permohonan: “Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Filemon 1:15-16). Sikap kasih dari rasul Paulus tersebut tentunya akan berhasil untuk menghapus berbagai stigma negatif yang melekat di dalam diri Onesimus. Karena kini selain Onesimus telah menampakkan sikap pertobatannya, rasul Paulus juga telah memberikan suatu jaminan dan sebutan Onesimus sebagai “buah hati” dan “anaknya”.
Seringkali kita selaku umat percaya dengan mantap berdoa “ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Tetapi dalam praktek kita ternyata lebih cenderung dan terampil untuk memberikan stigma negative kepada banyak orang yang kita anggap bersalah. Sangat berbeda sikap rasul Paulus ketika dia menghadapi orang yang sedang bermasalah dan melakukan kesalahan. Rasul Paulus tidak bersikap menghakimi Onesimus, melainkan dia membimbing dengan penuh kasih sehingga akhirnya Onesimus dapat percaya dan menerima Kristus. Rasul Paulus juga mengasihi Onesimus sedemikian rupa sampai dia menyebut Onesimus sebagai buah hati dan anaknya sendiri. Secara khusus pula rasul Paulus meminta kepada Filemon selaku tuannya agar mau menerima Onesimus bukan lagi sebagai seorang budak, tetapi sebagai saudara yang kekasih. Di sini status Onesimus yang dahulu budak diubah oleh rasul Paulus menjadi seorang saudara yang kekasih. Onesimus yang dahulu harus lari karena dia melakukan kejahatan kini dipulihkan statusnya oleh rasul Paulus menjadi seorang yang dapat kembali pulang dengan predikat yang baru di dalam kasih Kristus. Manakala Onesimus kemudian dapat diterima oleh tuannya Filemon sebagai saudara yang kekasih, bukankah ini berarti suatu kemungkinan bahwa status Onesimus tidak lagi dianggap sebagai seorang budak? Sebab bagaimana mungkin Filemon memperlakukan Onesimus yang kembali pulang ke rumahnya sebagai seorang budak sekaligus memperlakukan Onesimus sebagai saudara yang kekasih?
Sikap rasul Paulus tersebut pada hakikatnya merupakan cermin dari sikap kasih Allah sendiri. Di Yer. 18:1-11 Allah memerintahkan nabi Yeremia untuk pergi ke rumah tukang periuk. Ketika nabi Yeremia pergi ke rumah tukang periuk yang sedang bekerja, dia melihat bagaimana bejana yang dibentuk itu rusak atau menjadi bejana yang kurang sempurna, maka tukang periuk itu segera mengerjakannya kembali menjadi bejana yang lebih baik. Atas dasar pengamatan nabi Yeremia itu, Allah kemudian berfirman: “Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!” Dalam karya keselamatanNya, Allah memposisikan peranNya seperti tukang periuk yang sedang mengerjakan bejana. Apabila dalam proses pembuatan bejana tersebut hasilnya ternyata kurang sempurna, maka Allah akan segera membentuk bejana tersebut menjadi lebih baik dan sempurna. Allah tidak akan membiarkan umatNya dalam keadaan rusak dan binasa. Tetapi dengan kerahiman, dan kebijaksanaanNya, Allah senantiasa terus berupaya untuk memulihkan kembali martabat dan harkat manusia yang berdosa. Itu sebabnya karya keselamatan Allah senantiasa terjadi dalam seluruh perjalanan umat manusia. Allah tiada henti-hentinya terus berkarya agar Dia dapat memulihkan dan menyelamatkan umatNya yang berdosa. Pemulihan dan pengampunan Allah terlihat di Yer. 18:8, yaitu: “Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka”. Pada sisi lain bentuk proses pemulihan dan penyelamatan Allah tersebut kadang-kadang juga melalui proses yang sangat menyakitkan. Sebab Allah kadang-kadang menggunakan cara hukuman kepada umatNya yang lebih memilih mengeraskan hati dan tetap hidup dalam dosa.
Di Yer. 18:7, Allah berfirman: “Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan dan membinasakannya”. Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang penuh dengan kerahiman, sehingga Dia berkenan mengampuni dan membatalkan hukumanNya terhadap orang-orang yang berdosa. Tetapi ketika umat tetap berdosa dan mengeraskan hatinya, maka Allah segera menggunakan prinsip kekudusan dan keadilanNya sehingga Dia mencabut, merobohkan dan membinasakannya. Allah memproses umat yang berdosa dengan hukuman dan penderitaan yang sangat berat. Tujuan dari hukuman Allah pada prinsipnya sama sekali bukan untuk menghancurkan atau membinasakan umatNya, justru sebaliknya Allah ingin agar umatNya dipulihkan dan dapat kembali hidup benar di hadapanNya. Seperti tukang periuk yang harus menggiling, membanting dan menggilas tanah liat di tangannya, demikian pula Tuhan kadang-kadang juga harus menggiling, membanting dan menggilas umatNya yang mengeraskan hatinya agar mereka dapat dibentuk menjadi bejana yang indah. Dalam konteks ini makna penderitaan dan kesakitan sebagai hukuman Allah sebenarnya merupakan suatu rahmat. Sebab manakala kita tidak mengalami penderitaan dan kesakitan akibat perbuatan dosa kita, sesungguhnya kita akan mengalami kebinasaan kekal. Sebab ini berarti Allah telah meninggalkan dan membuang kita. Tetapi ketika kita diperkenankan oleh Allah untuk diproses, dibentuk dan ditempa oleh berbagai penderitaan akibat dosa dan kesalahan seharusnya kita amini bahwa Allah sangat menyayangi dan ingin menolong kita agar kita memiliki masa depan dan kehidupan yang lebih berkualitas sebagai anak-anakNya. Khususnya melalui karya Kristus, Allah menyatakan kasihNya dengan merangkul manusia yang berdosa dan mengangkat kita semua sebagai anak-anakNya sendiri, yaitu sebagai buah hatiNya. Namun, bagaimanakah agar kita selaku umat percaya dapat diproses dan dibentuk tanpa harus mengalami hukuman Allah? Bagaimana sikap kita yang seharusnya agar kita dapat menjadi tanah yang liat sehingga kehidupan kita mudah dibentuk sebagai bejana yang indah di hadapan Allah dan sesama?
Kita tidak dapat dibentuk dan diproses oleh Allah sebagai tanah yang liat untuk menjadi bejana yang dikehendakiNya manakala kita tetap mengeraskan hati terhadap firmanNya dan hidup kita lebih lekat kepada hal-hal yang duniawi. Makna “lekat” kepada yang duniawi berarti orientasi hidup kita menempatkan segala hal yang duniawi sebagai yang paling menentukan, sehingga Allah diabaikan dan kuasaNya direlatifkan. Itu sebabnya kehidupan kita lebih banyak dipengaruhi, diwarnai, dan didominasi oleh segala hal yang duniawi sehingga kehidupan kita tidak lagi memancarkan sebagai gambar dan rupa Allah. Kita tidak hidup sebagai buah hati atau anak-anak Allah, tetapi sebaliknya sebagai buah hati dan anak-anak dari kuasa dunia ini. Akibatnya kehidupan kita menjadi rusak total dan jauh dari kemuliaan Allah. Jenis spiritualitas kita tidak menjadi tanah liat yang lentur dan mudah dibentuk tetapi justru spiritualitas kita sering menjadi tanah yang keras sehingga tidak mungkin lagi dapat dibentuk menjadi sebuah bejana sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Jadi kekerasan hati dan kelekatan roh kita kepada hal-hal yang duniawi menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk mengalami keselamatan dan proses pembaharuan yang dikerjakan oleh Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus memanggil kita untuk memahami dan mempraktekkan makna memikul salib. Di Luk. 14:27, Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Makna memikul salib di sini jelas menunjuk kepada kesediaan untuk menerima beban dari Kristus, dan bukan menerima dan memikul berbagai beban dosa. Ketika kita menerima dan memikul beban dari Tuhan, beban tersebut memang sangat berat tetapi senantiasa membebaskan dan menyelamatkan. Sebaliknya ketika kita memikul beban dosa, beban tersebut umumnya ringan dan menyenangkan tetapi senantiasa membawa kita kepada kebinasaan dan hukuman Allah.
Salah satu bentuk kelekatan yang menghalangi kita kepada proses pembentukan Allah adalah cinta kita yang berlebihan kepada para anggota keluarga, nyawa dan harta milik kita. Kita sering menempatkan keluarga, nyawa dan milik kita sedemikian penting, sehingga mereka sering menjadi penguasa atas hidup kita. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Jikalau seorang datang kepadaKu, dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudara laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk. 14:26). Tentu perkataan ucapan Tuhan Yesus dengan ungkapan “membenci” di sini bukanlah dalam pengertian yang sebenarnya. Lebih tepat makna kata “membenci” di sini justru lebih menunjuk kepada pengertian “mengasihi lebih dari pada apapun”. Sehingga barangsiapa yang mengasihi ayah, ibu, isteri, anak-anak, saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan nyawanya sendiri lebih dari apapun juga, maka dia tidak layak untuk mengikut Tuhan Yesus. Sebab seseorang yang mengasihi para anggota keluarga, nyawa dan harta miliknya lebih dari pada apapun juga pastilah seorang yang tidak ingin menaklukkan diri di bawah kehendak Allah. Dia akan lebih cenderung ingin memberlakukan keinginan dan orientasi hidupnya sebagai yang paling utama. Kita dapat melihat dalam perjalanan sejarah ketika seseorang menempatkan para anggota keluarganya sebagai yang paling utama, yaitu munculnya sikap nepotisme atau dinasti keluarga yang cenderung untuk mengidolakan para anggota keluarga sehingga melahirkan berbagai tindakan yang a-sosial. Atau seseorang yang terlalu mencintai nyawanya sendiri sehingga melahirkan sikap egoisme diri, dan rasa cinta yang berlebihan kepada etnisnya sendiri melahirkan sikap rasialisme; rasa cinta yang berlebihan kepada bangsanya sendiri melahirkan sikap chauvinisme. Demikian pula rasa cinta kepada uang dan materi yanga berlebihan akan melahirkan sikap materialisme. Semua sikap tersebut terwujud dalam realita kehidupan manusia karena kita tidak menempatkan Allah sebagai satu-satunya pusat kehidupan kita.
Onesimus sebelumnya sempat menjadikan harta milik atau uang sebagai yang paling utama sehingga dia berani melakukan tindakan yang merugikan tuannya. Tetapi ketika dia berjumpa dengan rasul Paulus, sehingga dia mengenal kasih Allah di dalam Kristus, Onesimus bersedia bertobat dan mengalami kehidupan yang baru. Dia sama sekali tidak mengeraskan hati, tetapi Onesimus membiarkan kuasa kasih Kristus bekerja untuk mentransformasikan kehidupannya. Keadaan akan berbeda manakala Onesimus waktu itu tetap mengeraskan hati dan tidak mau bertobat. Proses pemulihan yang dilakukan Allah kepadanya mungkin menjadi sangat panjang dan berliku. Lebih dari pada itu proses pemulihan yang dikerjakan Allah di dalam hidup Onesimus mungkin sangat menyakitkan dan memalukan. Tetapi syukurlah Onesimus bersedia membuka hatinya dan bertobat. Sehingga dia kini bukan hanya dapat kembali ke rumah Filemon; tetapi juga dia dianggap sebagai buah hati dan anak dari rasul Paulus, bahkan Onesimus tidak dianggap oleh Filemon sebagai seorang budak, tetapi dia dapat menjadi saudara kekasih di dalam Kristus. Dalam hal ini Onesimus dapat menjadi sebuah bejana yang bersedia dibentuk oleh Allah menurut kehendak dan rencanaNya. Karena dia bersedia membuka seluruh hatinya terhadap pekerjaan Roh Kudus, dan dia bersedia untuk melepaskan segala kelekatan duniawi agar dia dapat mengikut Kristus dengan paradigma yang baru. Bagaimana dengan kehidupan saudara? Apakah hidup saudara menjadi bejana yang siap dibentuk oleh Allah? Marilah kita belajar melepaskan segala kelekatan diri terhadap hal-hal yang duniawi ini, sehingga kita dapat menjadi murid Kristus yang selalu lentur untuk diproses dan dibaharui sebagai bejana di tangan Allah. Amin.

5:46 PM

Sehati Sepikir, Bukan Perpecahan

Sehati Sepikir, Bukan Perpecahan
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tahun A : Minggu, 27 Januari 2008
Bacaan : Yes. 9:1-4; Mzm. 9:1-9; I Kor. 1:10-17; Mat. 4:12-23

Di Mat. 4:12, Injil Matius menyaksikan: “Menyingkirlah Yesus ke Galilea. Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau di daerah Zebulon dan Naftali”. Ungkapan “menyingkir” dapat berarti: pindah tempat, melakukan hijrah, menarik diri atau menjauh dari tempat semula. Jadi di Mat. 4:12 Tuhan Yesus berpindah tempat yang semula Dia tinggal di Nazaret, tempat Dia dibesarkan kemudian Dia menuju tempat yang baru di Kapernaum, Galilea. Di Yes. 9:3 nabi Yesaya menyebut daerah Galilea atau tanah Zebulon dan Naftali sebagai daerah yang suram dan negeri yang terjepit. Tetapi kelak negeri yang suram dan terjepit itu akan melihat Terang yang besar, yaitu: “Tetapi tidak selamanya aka ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu Tuhan merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain”. Sehingga kedatangan Tuhan Yesus ke Kapernaum yaitu di tanah Zebulon dan Naftali pada hakikatnya merupakan penggenapan dari nubuat nabi Yesaya. Sehingga orang-orang di Kapernaum, yaitu tanah Zebulon dan Naftali akhirnya mereka dapat melihat terang yang besar di dalam diri Kristus. Itu sebabnya di Mat. 4:15-16 menyaksikan penggenapan dari nubuat nabi Yesaya, yaitu: “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain; bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang”.

Apabila kita memperhatikan latar-belakang keadaan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka sangat jelas dari kitab nabi Yesaya dinyatakan sebagai tempat yang pernah direndahkan dan dihukum oleh Tuhan. Dari peta Palestina, kita dapat melihat bahwa tanah Zebulon dan tanah Naftali berada di sebelah barat danau Genesaret yang meliputi pula wilayah Efraim, sehingga tanah Zebulon dan Naftali masuk dalam wilayah Galilea. Dalam perang Syro-Efraimi yang terjadi pada tahun 734-733 sM, daerah Galilea termasuk Kapernaum yang terdiri dari Zebulon dan Naftali mengalami kerusakan yang paling parah. Wilayah taklukan tersebut dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan Asyur dan sebagian besar penduduknya diangkut ke kerajaan Asyria. Itu sebabnya wilayah Kapernaum dan Galilea akhirnya dikuasai oleh orang-orang kafir bangsa Asyria. Umat Israel di Galilea memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan hal-hal yang baru. Sehingga tidak mengherankan jikalau tanah Zebulon dan Naftali disebut oleh nabi Yesaya sebagai “wilayah bangsa-bangsa lain” yang hidup dalam kegelapan, negeri yang suram dan terhimpit. Selain tanah Zebulon dan Naftali mengalami pendudukan bangsa Asyria, mereka juga mengalami keadaan yang penuh dengan kesusahan yang sangat berat. Gambaran kesusahan tanah Zebulon dan Naftali adalah: “Mereka akan lalu lalang di negeri itu, melarat dan lapar, dan apabila mereka lapar, mereka akan gusar dan akan mengutuk rajanya dan Allahnya; mereka akan menengadah ke langit, dan akan melihat ke bumi, dan sesungguhnya, hanya kesesakan dan kegelapan, kesuraman yang mengimpit, dan mereka akan dibuang ke dalam kabut” (Yes. 7:21-22). Namun pada akhirnya saat Tuhan Yesus datang ke Kapernaum, dan memasuki wilayah Galilea, orang-orang di tanah Zebulon dan Naftali memiliki pengharapan baru sebab mereka melihat Terang yang besar. Kini Messias yang telah dinubuatkan oleh nabi Yesaya telah hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. Bahkan i daerah mereka yang dahulu terhimpit, suram dan penuh kegelapan, kini dijadikan oleh Tuhan Yesus untuk melaksanakan karya penyelamatanNya. Di tempat yang terkutuk dan tanpa masa depan itu telah diubah oleh Tuhan Yesus sebagai tempat Dia memberitakan firman: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 4:17).
Dari Mat. 4:12, kita dapat mengetahui alasan yang menyebabkan Tuhan Yesus harus pindah tempat dari Nazaret ke Kapernaum yaitu karena Dia telah mendengar Yohanes Pembaptis ditangkap dan dipenjarakan oleh Herodes Antipas. Walau daerah Kapernaum masih merupakan wilayah dari kerajaan Herodes Antipas, tetapi daerah Kapernaum di Galilea berada di wilayah perbatasan, sehingga manakala Herodes Antipas mau menangkap Dia, maka Tuhan Yesus dapat bergerak cepat menuju wilayah kerajaan Filipus. Ini berarti daerah Galilea dipilih oleh Tuhan Yesus secara khusus. Dia menganggap daerah ini selain aman dari kejaran tentara Herodes Antipas, juga di sana Tuhan Yesus dapat membuat pemulihan bagi seluruh penduduknya. Itu sebabnya Tuhan Yesus memberitakan firman, yaitu: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 4:17). Daerah Galilea yang semula berada dalam kesuraman dan dosa kekafiran serta sinkretisme tersebut dibawa oleh Tuhan Yesus kepada pembaharuan hidup, yaitu pertobatan; sebab kini di dalam Kristus, kerajaan Allah berkenan hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. Masa penghukuman dari Allah telah lewat, sebab kini Tuhan memberi pengharapan dan masa depan yang baru bagi mereka. Allah tidak hanya selalu menghukum (punishment) mereka, tetapi juga Dia memperlihatkan rahmat dan kasihNya yang mau mempercayai (trust) mereka untuk hidup sebagai anak-anak dari kerajaan Allah.

Rahmat dan kasih Tuhan yang memberi pemulihan pada hakikatnya juga rahmat yang mau mempercayai (trust) mereka untuk menjadi kawan sekerjaNya. Sehingga di Mat. 4:18, Tuhan Yesus memanggil dua orang untuk menjadi muridNya, yaitu Petrus dan Andreas. Kemudian di Mat. 4:21, Tuhan Yesus juga memanggil 2 orang lain lagi untuk menjadi muridNya, yaitu Yakobus dan Yohanes anak-anak dari Zebedeus. Keempat orang murid Tuhan Yesus tersebut semula adalah para nelayan yang sedang menangkap ikan di danau Genesaret. Tetapi kini Tuhan Yesus berkenan memilih dan menjadikan mereka sebagai para muridNya. Kepada mereka, Tuhan Yesus berkata: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat. 4:19). Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes semula hanya rakyat jelata yang selalu mengalami kehidupan yang suram dan gelap. Tetapi kini mereka diberi kepercayaan oleh Tuhan Yesus untuk menjadi muridNya. Mereka diperkenankan oleh Tuhan Yesus untuk menjadi para saksi dan kawan sekerjaNya yang melihat dan mengalami karya keselamatan Allah yang dinyatakan dalam diri Tuhan Yesus. Situasi hidup mereka yang semula ditandai oleh perendahan dan hukuman dari Allah karena dosa-dosa yang telah diperbuat oleh para leluhurnya, kini kehidupan mereka diubah oleh Tuhan Yesus sehingga kehidupan mereka dilimpahi oleh rahmat dan keselamatan Allah. Bukankah pemilihan daerah Galilea, yang mana tanah Zebulon dan tanah Naftali sebagai wilayah dari pelayanan Tuhan Yesus pada hakikatnya mau menyatakan bahwa Allah berkenan memilih apa yang tidak berarti dalam pandangan manusia? Allah di dalam Kristus pada hakikatnya berkenan memilih umat yang dahulu hidup dalam kegelapan, kesuraman dan serba terhimpit untuk menjadi umat yang dapat melihat Terang yang besar secara langsung. Mereka diperkenankan oleh Allah untuk berhadapan dan melihat secara langsung diri Kristus, yaitu sang Messias yang telah dinanti-nantikan oleh para nabi selama ribuan tahun lamanya. Bahkan kini Kristus berkenan memilih orang-orang di Galilea untuk menjadi muridNya. Justru dalam peristiwa ini terlihat nyata bahwa Tuhan Yesus tidak memilih para muridNya dari wilayah kota besar seperti Yerusalem. Rahmat Tuhan senantiasa melampaui perhitungan, ukuran dan penilaian manusia. Allah justru berkenan memakai orang-orang sederhana, yang semula hidup dalam kesuraman dan terhimpit untuk menjadi orang-orang pilihan dan kawan-sekerjaNya, agar mereka dapat menjadi berkat dan saksi Allah dalam lingkup yang lebih luas.

Sikap kita justru sering sebaliknya. Sikap kita sering didominasi oleh sikap “menghukum” (punishment) tanpa ampun. Apabila kita menjumpai orang yang melakukan kesalahan, kita cenderung untuk membuat stigma yang sifatnya kekal kepada pribadinya, sehingga seakan-akan dosanya tidak pernah terampuni. Tidak demikian sikap Allah dalam menghadapi orang-orang yang pernah bersalah di hadapanNya. Hukuman Allah senantiasa diikuti oleh kasih dan rahmatNya, sehingga Allah berkenan memulihkan dan memberi harapan baru kepada umat yang dahulu pernah meninggalkan Dia. Itu sebabnya orang-orang Galilea justru dipilih oleh Tuhan Yesus untuk mengalami kehadiranNya secara langsung, sebab Tuhan Yesus telah berpindah tempat dari Nazaret untuk tinggal di tengah-tengah mereka. Orang-orang Galilea dalam hal ini adalah Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes diberi kepercayaan (trust) untuk menjadi murid dan kawan sekerja Kristus. Sikap Kristus inilah yang menyebabkan perubahan besar dan pemulihan bagi kehidupan mereka. Bahkan dengan sikap Kristus yang mempercayai dan memakai mereka tersebut telah memungkinkan terjadinya pertumbuhan komunitas jemaat sebab orang banyak kemudian berbondong-bondong mengikuti Kristus. Daya rekat atau sifat kohesif dari cikal bakal komunitas jemaat yang dibentuk oleh Tuhan Yesus pada hakikatnya didasari oleh kuasa kasihNya yang memulihkan, yang memberi pengharapan, dan yang memberdayakan mereka. Jadi selama Kristus dijadikan pusat dan sumber bagi seluruh kehidupan mereka, maka persekutuan dan ikatan kasih dalam komunitas mereka tetap terpelihara dengan sehat. Selama mereka hanya mengikuti Kristus sebagai Terang Besar, maka perjalanan hidup mereka sebagai para pribadi dan juga sebagai persekutuan jemaat akan tetap diberkati oleh Allah. Setiap jemaat akan tetap seia-sekata dan sehati sepikir manakala Kristus menjadi fokus dan tujuan hidup mereka.

Tetapi dalam perjalanan sejarah gereja, ternyata gereja-gereja Tuhan sering tidak menjadikan Kristus sebagai pusat dan tujuan hidupnya. Gereja-gereja Tuhan justru sering menjadikan pemimpinnya sebagai yang diidolakan, bahkan pemimpin umat dikultuskan sedemikian rupa. Kita dapat melihat banyak contoh para pelayan Tuhan yang secara sadar atau tidak sadar sering mencoba mengkondisikan anggota jemaatnya untuk bergantung kepada dirinya. Dalam hal ini mereka menyatakan dirinya sebagai “hamba Tuhan” yang telah memperoleh karunia dan akses khusus untuk berbicara dengan Kristus. Mereka sering membuat berbagai kesaksian bagaimana mereka telah dipilih secara khusus oleh Tuhan sehingga perkataan mereka memiliki kuasa untuk bernubuat dan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kemungkinan yang lain dari sikap kultus individu tersebut adalah karena beberapa anggota jemaat memiliki kelompok yang gemar mendewa-dewakan pemimpinnya. Tampaknya keadaan inilah yang meracuni kehidupan jemaat di Korintus. Di I Kor. 1:12 rasul Paulus menegur sikap dan kecenderungan jemaat Korintus, demikian: “Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakan Kristus terbagi-bagi-bagi?” (I Kor. 1:12). Mereka memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk membentuk kelompok atau golongannya masing-masing dengan pemimpin yang mereka anggap paling unggul. Itu sebabnya di antara mereka ada yang mengklaim sebagai pengikut dari Paulus, sebagian mengklaim sebagai pengikut dari Apolos, dan sebagian mengklaim sebagai pengikut dari Petrus. Itu sebabnya kehidupan jemaat di Korintus ditandai oleh perpecahan dan di antara mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi berbagai golongan yang saling meniadakan pihak lain. Dalam kondisi perpecahan itu rasul Paulus berkata: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia-sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (I Kor. 1:10). Jadi manakala Kristus tidak dijadikan sebagai pusat hidup dan pegangan satu-satunya, maka kehidupan jemaat yang telah dibentuk oleh Kristus dapat terpecah-belah menjadi berbagai kelompok atau golongan. Jemaat yang dibentuk oleh Kristus agar keluar dari situasi kesuraman, kegelapan dan terhimpit oleh kuasa dosa agar mereka diubah dan dipulihkan Tuhan untuk menjadi umat yang dilimpahi rahmat keselamatan Allah. Tetapi jemaat juga dapat berubah kembali (set back) menjadi sekumpulan orang-orang yang hidup menurut cara duniawi manakala mereka mengabaikan Kristus dengan mengkultus-individukan pemimpin umat. Akibatnya mereka tidak lagi berperan sebagai kawan sekerja Allah, tetapi justru mereka berubah menjadi para lawan Allah. Mereka tidak lagi menyediakan diri sebagai alat dalam karya keselamatan Allah; tetapi mereka justru telah memperalat karya keselamatan Allah untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Syukurlah dalam situasi perpecahan itu, rasul Paulus tidak tergoda untuk memperkuat golongan atau orang-orang yang mendukung atau memujanya. Sebaliknya justru rasul Paulus kemudian menegur setiap golongan agar mereka semua hanya tertuju kepada Kristus sebagai kepala jemaat. Bukankah dalam situasi perpecahan jemaat yang mana seorang pemimpin didukung oleh golongannya sering memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan situasi agar dia makin dikultus-individukan? Pemimpin umat yang demikian pada hakikatnya tidak layak lagi melayani Tuhan di tengah-tengah jemaat, sebab telah terlihat dengan jelas motivasi dia; yaitu sebenarnya dia bukan untuk melayani Tuhan dan mewujudkan karya keselamatan Allah, tetapi dia melayani jemaat untuk mencari kepentingannya sendiri. Dalam hidup berjemaat, pemimpin umat dapat berarti seorang yang berjabatan pendeta, tetapi juga seorang penatua atau pengurus komisi-komisi. Apabila kita menempatkan Kristus sebagai kepala jemaat, maka kita wajib menolak para pemimpin yang secara sengaja telah memanfaatkan dukungan anggota jemaat untuk kepentingan dirinya. Sebab prinsip pemilihan Kristus kepada orang-orang yang menjadi muridNya pada hakikatnya adalah bersedia meninggalkan segala sesuatu barulah mereka mengikut Dia. Di Mat. 4:22 disaksikan sikap murid-murid dari Galilea dalam menjawab panggilan Tuhan Yesus, yaitu: “Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia”. Manakala kita mau meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Kristus, maka pastilah kita akan mengutamakan kepentingan Kristus dan karya keselamatan Allah. Sehingga segala ambisi, kepentingan diri dan penonjolan diri telah kita tinggalkan agar kita dapat makin mempermuliakan Kristus.

Jadi manakala dalam kehidupan kita masih diwarnai oleh berbagai macam perpecahan dan pertengkaran; apakah perpecahan dan pertengkaran dalam kehidupan keluarga, pergaulan dengan anggota masyarakat, pekerjaan dan berjemaat sesungguhnya kita belum berhasil mempraktekkan makna “meninggalkan segala sesuatu” dan mengikut Kristus. Sebab dari situasi perpecahan dan pertengkaran tersebut, kita telah memberi andil dan memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan diri kita sendiri. Akibatnya kita menuai hidup berupa kesuraman, kegelapan dan terhimpit sebagaimana pernah dialami oleh umat Israel yang tinggal di Galilea. Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya Allah telah menghukum kita dengan merendahkan kita. Tetapi rahmat dan belas kasihan Allah akan dinyatakan apabila kita mau segera bertobat dengan meninggalkan segala egoisme diri. Pada saat kita mau bertobat, maka kita akan diperkenankan oleh Allah untuk kembali melihat Terang besar yaitu keselamatan yang telah dinyatakan di dalam Kristus. Bahkan Kristus berkenan akan memakai kita kembali untuk menjadi kawan sekerjaNya. Sebab tidak selama-lamanya Allah menghukum, tetapi Dia juga mau memulihkan kita dan mempercayai kita untuk melakukan karya kasihNya yang mulia. Jika demikian, bagaimanakah kehidupan saudara saat ini? Apakah kehidupan saudara masih ditandai oleh perpecahan dan pertengkaran? Jadikanlah Kristus sebagai pusat dan tujuan hidup kita satu-satunya, maka kita akan bersedia untuk meninggalkan segala sesuatu bagi kemuliaan namaNya sehingga kita dapat hidup dalam damai-sejahtera Allah. Amin.