5:46 PM

Berkorban Seturut Rencana Allah

Berkorban Seturut Rencana Allah
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tahun A : MINGGU, 17 FEBRUARI 2008
Pra Paskah II
Bacaan : Kej. 12:1-4; Mzm. 121; Rom. 4:1-5, 13-17; Yoh. 3:1-7

Salah satu situasi yang paling kritis dan sulit dihadapi oleh setiap orang adalah ketika dia harus meninggalkan kemapanan dirinya. Banyak orang yang tidak siap meninggalkan kemapanan dan keamanan yang bertahun-tahun dinikmati dan telah membentuk jati-dirinya, seperti harus meninggalkan lingkungan keluarga, lingkungan suku, lingkungan pekerjaan, atau kemapanan ikatan sosial dan kemapanan finansial. Perasaan tidak siap untuk meninggalkan situasi kemapanan tersebut terjadi, karena selama bertahun-tahun dia telah dimanjakan oleh berbagai fasilitas pendukung dan ikatan kekeluargaan yang selalu menjaga atau melindungi dia. Sehingga ketika dia terlepas dari ikatan keluarga, ikatan suku, dan pekerjaan; maka dia juga kehilangan bagian inti dari kehidupannya. Akibatnya dia mengalami stress berat, depresi, linglung dan perubahan tingkah-laku yang tidak lazim. Itu sebabnya setiap orang umumnya memiliki kecenderungan untuk terus berupaya mempertahankan kemapanan dirinya, dan tidak ingin tergusur dari jabatan atau meninggalkan lingkungan hidupnya. Tetapi tidak demikian sikap Abram, yang kelak berganti dengan nama: Abraham. Di Kej. 12:1, Tuhan berfirman kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”. Abraham dipanggil oleh Allah untuk meninggalkan negeri, kota, dan sanak saudara serta rumah ayahnya untuk menuju suatu negeri yang waktu itu belum diketahuinya. Tentunya panggilan Tuhan tersebut merupakan suatu pergumulan yang sangat berat dan sulit bagi Abraham. Sebab sesungguhnya dia telah merasa menyatu dengan semua orang, alam dan segala sesuatu yang ada di lingkungan keluarga, kota dan negerinya, yaitu di Ur-Kasdim. Selain itu saat itu Abraham telah berusia 75 tahun! Suatu usia yang sebenarnya sangat cocok bagi Abraham untuk menikmati hari tua dan pensiun dari pada dia harus pergi sebagai seorang pengelana atau pengembara di negeri orang. Tetapi Tuhan telah memanggil dia untuk meninggalkan lingkungan dan ikatan keluarga serta suku untuk memulai suatu kehidupan yang baru berdasarkan janjiNya.

Dari kitab Yosua, kita juga dapat memperoleh informasi tentang keadaan dan latar-belakang kehidupan Abraham ketika dia masih tinggal di Ur-Kasdim. Di Yos. 24:2, Yosua berkata kepada seluruh umat Israel, demikian: “Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain”. Dengan kesaksian Yos. 24:2 ini kita dapat melihat bahwa keluarga besar termasuk Terah, ayah Abraham dan Nahor adalah orang-orang yang taat menyembah berhala di kota Ur-Kasdim yang terletak di seberang sungai Efrat, atau wilayah kerajaan Babel. Selama tinggal di Ur-Kasdim, kemungkinan Abraham mulai kecil sampai dewasa pernah menyembah kepada dewa-dewa bangsa Babel. Tetapi selama dia menyembah kepada dewa-dewa bangsa Babel, tampaknya Abraham merasa tidak bahagia dan jauh dari damai-sejahtera. Dalam hatinya terus bergulat dengan berbagai pertanyaan kritis yang meragukan keberadaan dan kekuasaan para dewa bangsa Babel tersebut. Pergumulan yang menentang keberadaan dan kekuasaan para dewa bangsa Babel tersebut tampaknya tidak tertahankan lagi ketika Abraham berusia 75 tahun. Akhirnya dia memperoleh kesadaran iman dan mata batinnya terbuka lebar khususnya saat Tuhan, yaitu YAHWEH menyatakan diriNya dan memanggil Abraham untuk meninggalkan kampung halaman dan rumah ayahnya. Abraham merespon panggilan Tuhan tersebut. Dia kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota Ur-Kasdim bersama isteri dan Lot, keponakannya. Tetapi bukankah keputusan Abraham tersebut mengandung risiko tinggi, sebab dia akan kehilangan semua hal dan dia harus memulai segala sesuatu dari nol kembali? Risiko yang mustahil ditempuh mengingat Abraham waktu itu telah berusia 75 tahun, sebab mungkin tubuhnya mulai rentah dan kekuatannya telah berkurang banyak. Dalam situasi demikian, tidak berlebihan jikalau Abraham juga mungkin sempat bertanya-tanya dalam hatinya, apakah dia masih sanggup untuk melakukan perjalanan yang sangat jauh, sulit dan berbahaya menuju suatu tempat yang belum diketahui dengan jelas. Tetapi dia akhirnya memilih setia dan taat kepada Tuhan. Jadi kita dapat melihat bahwa Abraham rela mengorbankan segala sesuatu yang mapan dan ikatan keluarganya demi memenuhi panggilan Tuhan.

Dengan demikian seluruh keraguan, kekuatiran dan ketakutan akan masa depannya ternyata dapat diatasi oleh Abraham dengan sikap percaya kepada Tuhan. Abraham menaruh percaya kepada penyertaan dan janji Allah, yaitu: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:2-3). Dia percaya bahwa Allah yang diimani adalah Allah yang hidup dan berkuasa. Sehingga dia juga percaya bahwa janji-janji Tuhan pasti akan digenapi, walaupun saat itu dia sama sekali tidak mempunyai bukti apapun. Abraham mengambil keputusan berdasarkan imannya; bukan berdasarkan perhitungan dan bukti-bukti yang terlihat dengan jelas. Bukankah tindakan Abraham tersebut sungguh-sungguh merupakan “lompatan iman”? Abraham berani bertindak berdasarkan janji Allah yang belum dilihatnya. Surat Ibrani memberi kesaksian: “Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui” (Ibr. 11:8). Setelah dia mengenal Yahweh yang telah menyatakan diriNya, kehidupan Abraham sepenuhnya dipenuhi oleh sikap iman dan ketaatan. Ciri spiritualitas Abraham adalah: iman kepada Allah mendahului seluruh tindakan dan perbuatannya, sehingga kehidupannya menghasilkan perbuatan iman. Bukan sikap yang sebaliknya! Dia tidak terlebih dahulu berupaya mencari berbagai kepastian, kemudian baru dia mau bertindak. Abraham tidak memilih sikap demikian. Sebab dengan mata imannya kepada Allah, Abraham dimampukan untuk melihat ke arah manakah Allah akan memimpin dan membimbing hidupnya. Itu sebabnya Allah membenarkan Abraham berdasarkan imannya. Abraham dijadikan oleh Allah sebagai bapa orang percaya agar mereka yang percaya mau meneladai sikap imannya. Kebenaran yang dimiliki oleh Abraham adalah kebenaran iman, bukan karena dia melakukan kewajiban dan ritualitas agama. Itu sebabnya rasul Paulus di Rom. 4:13 berkata: “Sebab bukan karena hukum Taurat telah diberikan janji kepada Abraham dan keturunannya, bahwa ia akan memiliki dunia, tetapi karena kebenaran, berdasarkan iman”. Dengan demikian kerelaan Abraham berkorban, bukan karena dia mentaati sejumlah peraturan dan kewajiban agamawi; tetapi dia dibenarkan oleh Allah karena pengorbanannya dilakukan dengan sikap iman yang total kepada Tuhan.

Pada masa kini kita dapat melihat bangkitnya akan kesadaran beragama yang ditandai oleh sikap antuasiasme dan fanatisme dalam setiap agama. Kesadaran beragama tersebut telah mendorong setiap pemeluk agama untuk menekuni kitab-kitab agamanya dan mengunjungi tempat agama tersebut dilahirkan seperti: India, Mekkah dan Medinah, Tibet, serta tanah Israel. Mereka bersedia berkorban dengan menyisihkan dana yang cukup besar agar dapat mengunjungi tempat-tempat suci di India, Mekkah-Medinah, Tibet dan Israel. Padahal untuk menyisihkan dana yang cukup besar tersebut tidak jarang di antara mereka harus menjual harta milik seperti tanah, tabungan dan sawahnya. Mereka juga bersedia berkorban untuk mengubah penampilan fisiknya dengan rela menggunakan pakaian keagamaan setiap saat. Bahkan lebih dari pada itu, mereka bersedia berkorban nyawa dengan meledakkan tubuhnya dengan bom agar agama mereka makin menjadi besar, dan penganut agama lain menjadi berkurang. Tetapi apakah tindakan mereka tersebut didasarkan pada iman? Umumnya mereka segera menjawab “ya”. Padahal sikap iman seharusnya seperti sikap Abraham. Dia sama sekali tidak mau menggunakan kekerasan atau sikap paksaan kepada kaum keluarga dan sukunya yang waktu itu masih menyembah berhala. Karena itu dia lebih memilih pergi meninggalkan mereka dan rela melakukan perjalanan jauh tanpa tujuan yang pasti agar rencana Allah terwujud dalam kehidupannya. Abraham memilih meninggalkan kaum keluarga dan sukunya dalam damai. Tetapi sikapnya yang berani menempuh risiko, bahaya dan ketidakpastian hidup untuk pergi ke tempat yang dijanjikan oleh Allah telah mengungkapkan betapa dahsyat dan kokohnya kepercayaan Abraham kepada Allah. Walaupun demikian sikap imannya yang begitu kokoh dan luar biasa itu tidak ditunjukkan oleh Abraham dengan sikap yang sombong, arogan, sewenang-wenang, dan merasa diri paling benar. Abraham menunjukkan kerelaannya untuk berkorban bukan dengan cara mengorbankan kehidupan orang lain; sebaliknya dia memberi ruang kepada orang lain untuk menentukan sikap. Tahukah anda siapa yang mendukung sikap imannya? Alkitab hanya menyebut 2 orang yaitu Sarai, isterinya dan Lot, keponakannya yang mendukung keputusan imannya. Tetapi hampir seluruh keluarga besar dan sukunya menolak sikap imannya.

Sikap iman pada satu pihak merupakan respon manusia terhadap panggilan, firman dan janji-janji Allah yang belum kelihatan. Mereka percaya penuh dan menyembah kepada Allah yang esa. Tetapi sikap iman juga pada pihak lain merupakan sikap kasih yang bersedia memberi ruang kepada pihak lain agar mereka juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pencerahan dan kesadaran secara alamiah. Sikap iman pada hakikatnya sangat sadar bahwa hal percaya atau beriman kepada Allah sesungguhnya menyangkut hubungan yang sangat personal antara manusia dengan sang Pencipta. Karena itu lembaga agama dan massa dari suatu umat tidak boleh melakukan intervensi ke ruang personal tersebut. Sebab manakala lembaga agama atau massa dari suatu umat memaksakan orang lain untuk pindah agama, maka sesungguhnya mereka telah merampas kehormatan dan kesucian iman. Karena itu kasus pemaksaan pindah agama yang terjadi di berbagai tempat sesungguhnya telah menjadi pemerkosaan hak asasi manusia. Namanya saja “pemerkosaan”, sehingga pastilah tindakan mereka selain tidak suci dan tidak beradab juga telah mencemarkan nama agama mereka. Demikian pula kita menolak pola-pola “penginjilan” yang sifatnya memberi “iming-iming” tertentu kepada orang-orang miskin dan hidup menderita. Sebab penginjilan yang benar secara Alkitabiah adalah senantiasa menyadarkan, membebaskan dan memanusiakan sesama agar mereka sadar bahwa mereka sangat berharga dan dikasihi oleh Allah. Karena itu mereka dimampukan untuk secara sadar berjumpa dengan Allah yang telah menyatakan diriNya di dalam Kristus. Dengan kata lain, sikap iman senantiasa memberi ruang yang cukup akomodatif kepada setiap orang agar mereka mampu mengambil keputusan imannya secara dewasa, matang, kritis dan sungguh-sungguh menyadari benar konsekuensi kepercayaannya.

Sebagaimana Abraham memperoleh pencerahan iman yang membuka mata rohaninya kepada Allah yang esa, maka demikian pula pengalaman yang terjadi dalam diri Nikodemus. Dia adalah seorang Farisi dan menjadi salah seorang pemimpin agama Yahudi. Karena itu tentunya Nikodemus sangat beriman kepada Allah yang esa. Kalau demikian masakan dia memperoleh pencerahan iman atau “new insight of faith”? Bukankah dia sudah percaya kepada satu Allah bernama Yahweh? Yang diketahui dengan baik oleh Nikodemus adalah keselamatan manusia diperoleh manakala manusia taat melakukan hukum Taurat dengan setia. Tetapi ketika dia berjumpa dan berbicara dengan Yesus, Nikodemus menyadari bahwa tidaklah cukup manusia hanya mampu taat untuk melakukan hukum Taurat. Sebab ketaatan kepada hukum Taurat menjadi tidak bermakna bahkan sia-sia jikalau manusia belum dilahirkan kembali. Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya, jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh. 3:3). Bukankah perkataan dan ajaran Tuhan Yesus tersebut juga sangat memukul seluruh kebanggaan Nikodemus sebagai seorang Farisi dan pemimpin agama? Dia mungkin bergumul dengan diri sendiri, bagaimanakah aku seorang Farisi, ahli kitab dan pemimpin agama harus mengalami perubahan spiritualitas dan iman? Tetapi kalau dia mengikuti jejak iman Abraham, pastilah Nikodemus berani meninggalkan seluruh kemapanan dirinya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan Nikodemus terpaksa harus rela meninggalkan lingkungan sebagai seorang Farisi dan pemimpin agama Yahudi. Apabila Nikodemus merespon perkataan Tuhan Yesus untuk dilahirkan kembali, maka Nikodemus berani membuat lompatan iman yang sama sekali baru. Konsekuensinya Nikodemus harus berani memulai lagi segala sesuatu dari nol! Untuk itu Nikodemus harus rela berkorban kehilangan semua hal yang selama ini membanggakan dirinya. Dia dapat kehilangan kebanggaannya sebagai seorang Farisi dan ahli Taurat, tetapi juga dia dapat kehilangan jabatan serta fasilitas yang diperoleh sebagai seorang pemimpin agama. Sayang sekali, kitab Injil tidak mencatat bagaimana respon iman atau “follow up” yang ditempuh oleh Nikodemus setelah dia melakukan percakapan dengan Tuhan Yesus.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kerelaan berkorban secara moral dan agamawi saja tidaklah cukup, jikalau tidak dilakukan atas dasar iman dan kasih. Tepatnya kerelaan berkorban akan menjadi sia-sia dan tanpa makna jikalau tidak didasarkan oleh kesediaan untuk “dilahirkan kembali”. Sebab tanpa dilahirkan kembali, kita akan menggunakan kerelaan berkorban untuk kepentingan diri sendiri sebagai upaya pengumpulan pahala. Tanpa pengalaman dilahirkan kembali, kerelaan berkorban akan kita manipulasi untuk mengorbankan orang lain asalkan diri kita sendiri dan agama kita menjadi lebih besar. Tanpa dilahirkan kembali, kita akan menggunakan ketaatan kepada hukum-hukum Allah untuk pembenaran diri sendiri yang ujung-ujungnya adalah kesombongan rohani. Walau Abraham pada waktu di Ur-Kasdim belum mengenal makna “dilahirkan kembali”; tetapi bukankah ketika dia merespon panggilan Allah dengan taat melakukan karena iman, kehidupan Abraham juga telah mengalami “kelahiran kembali”? Itu sebabnya namanya semula yaitu “Abram” yang berarti: bapaku yang mulia; kemudian diganti oleh Allah menjadi “Abraham” yang berarti: bapa orang banyak. Jika demikian, bagaimanakah kualitas imani kita dalam memaknai rela berkorban? Apakah sikap hidup kita seperti Abraham yang bersedia berkorban untuk meninggalkan segala kemapanan dan ikatan keluarga, manakala kita terpaksa harus memilih antara Kristus dan keluarga; antara Kristus dengan fasilitas karier; antara Kristus dengan teman yang ingin menjadi pasangan hidup kita? Tentunya pilihan tersebut tidak mudah; sangat sulit! Tetapi menjadi tidak mustahil manakala kehidupan kita telah dilahirkan kembali, sehingga kita dengan anugerah Allah berani menempuh lompatan iman yaitu berjalan ke tempat yang disediakan oleh Tuhan walau kita belum mengetahui apa yang akan terjadi besok. Bagaimanakah sikap saudara saat ini? Amin.


Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

0 comments: