5:53 PM

Dipakai Untuk Menyatakan Pekerjaan-Pekerjaan Allah

Dipakai Untuk Menyatakan Pekerjaan-Pekerjaan Allah
Bacaan : Yohanes. 9:1-23



Ketika para murid Tuhan Yesus melihat orang buta sejak lahirnya, mereka mengajukan pertanyaan kepada Tuhan Yesus: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:1-2). Respon dari para murid tersebut mengungkapkan persepsi teologis mereka bahwa orang yang buta sejak lahir atau orang yang sedang menyandang cacat tubuh dan kemalangan pastilah tanda dari orang-orang yang sedang mengalami hukuman dari Allah. Mereka beranggapan bahwa Allah sedang menghukum karena orang buta sejak lahir itu telah berbuat berdosa, atau paling sedikit dia menanggung hukuman Allah akibat dosa orang-tuanya. Di kitab Ayub kita juga dapat melihat persepsi teologis tersebut. Salah seorang sahabat Ayub mengungkapkan bahwa penderitaan yang dialami oleh Ayub disebabkan karena Ayub kemungkinan besar melakukan kesalahan atau dosa kepada Tuhan. Itu sebabnya Elifas, sahabat Ayub berkata: “Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesalahan, ia menuainya juga” (Ayb. 4:8). Persepsi teologis tersebut sebenarnya sesuatu yang universal. Hampir semua agama dan kepercayaan di dunia ini memiliki anggapan di balik penderitaan atau kemalangan, tentunya terdapat hukuman Allah. Kalau menjumpai sebuah keluarga mengalami kematian tragis, secara spontan kita sering berkata bahwa kemungkinan mereka dihukum oleh Allah. Siapa yang menabur kesalahan, pastilah dia akan menanggung hukuman; atau “mereka yang menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung” (Hos. 8:7). Dengan perkataan lain, orang yang hidup benar seharusnya tidak akan tertimpa bencana, sakit, penderitaan dan malapetaka. Sehingga apabila seseorang mengalami bencana yang besar, atau penderitaan yang begitu luar biasa, atau penyakit yang tidak tersembuhkan pastilah mereka telah melakukan kesalahan dan dosa yang begitu besar sehingga kini Allah menghukum mereka.

Tetapi realita juga menunjukkan bahwa orang yang hidup benar seperti Ayub dapat mengalami penderitaan yang sangat hebat dan memalukan. Dia telah kehilangan segala-galanya, dan kini seluruh badannya dipenuhi oleh “koreng” (penyakit kulit yang bernanah dan berbau busuk). Bahkan persepsi teologis yang selalu mengkaitkan seseorang yang menderita dengan dosa seringkali salah. Sebab orang-orang yang hidup jahat dan buruk kelakuannya sering dijumpai mereka hidup serba makmur dan sehat. Sebaliknya orang-orang yang bertindak benar, lurus jalannya, jujur dan setia seringkali menderita dan hidup miskin. Jadi tampaknya para murid Tuhan Yesus lebih cenderung memiliki persepsi teologis yang selalu mengkaitan realita penderitaan yang dialami seseorang dengan dosa atau hukuman Allah. Akibatnya yang mereka lihat dalam penderitaan orang buta sejak lahir hanyalah realita dosa dan hukuman Allah. Para murid Tuhan Yesus tidak mampu melihat realita dan dimensi lain, yaitu panggilan dan peran mereka untuk menolong mereka yang sedang mengalami kesusahan dan penderitaan. Tetapi tidak demikian sikap Tuhan Yesus dalam merefleksikan dan merespon penderitaan orang buta sejak lahir. Tuhan Yesus berkata: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh. 9:3). Dalam hal ini Tuhan Yesus tidak memposisikan penderitaan dan keadaan cacat orang buta sejak lahir sebagai bentuk dari hukuman Allah karena kesalahan dan dosa-dosanya. Demikian pula Tuhan Yesus tidak menganggap penderitaan dan cacat dari orang buta sejak lahir sebagai akibat dari kesalahan dan dosa orang-tuanya. Sebaliknya Tuhan Yesus memandang penderitaan dan cacat fisik yang dialami oleh orang buta sejak lahir secara positif. Realita penderitaan dan kebutaan dari orang buta tersebut ditempatkan oleh Tuhan Yesus dalam konteks panggilan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah. Umat percaya dipanggil Tuhan untuk berperan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah yang menyelamatkan bagi setiap orang yang menderita. Jadi umat yang percaya tidak perlu menghakimi setiap orang yang sedang menderita, miskin, sakit dan cacat fisik atau mental dengan teologi “kejatuhan” dan “keberdosaan” manusia. Sebab penerapan teologi tersebut justru sering menghambat peran umat percaya untuk melakukan karya Allah yang menyelamatkan dan memulihkan yang sedang sakit atau mengalami malapetaka.

Itu sebabnya yang dilakukan oleh Tuhan Yesus terlebih dahulu adalah menyembuhkan orang buta sejak lahir itu. Di Yoh. 9:6 disebutkan Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta itu dengan cara meludah ke tanah, dan Ia mengaduk ludahNya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta itu dan menyuruh dia untuk membasuh matanya di kolam Siloam. Orang buta sejak lahir itu akhirnya dapat melihat dunia dan kehidupan ini dengan jelas. Dalam konteks ini Tuhan Yesus menyebut diriNya dengan pernyataan: “Akulah Terang Dunia” (Yoh. 9:5). Sebagai terang dunia, Tuhan Yesus telah menunjukkan kuasaNya untuk memberi terang kepada manusia yang menderita, yaitu terang bagi mereka yang buta matanya, dan terang rohani bagi mereka yang hidup dalam kekelaman. Pekerjaan Allah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah Dia memberi pemulihan fisik agar mata orang buta tersebut dapat melihat dan melakukan berbagai kegiatan seperti sesamanya yang lain. Selain itu Tuhan Yesus juga memulihkan kehidupan orang buta tersebut secara holistik, sehingga orang buta yang telah sembuh itu dapat kembali menjalin hubungan sosial yang lebih luas, memiliki kepercayaan diri, lebih mampu bergerak secara efektif dan efisien dan mengalami karya Allah yang menyelamatkan. Makna melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah berarti kita dipanggil untuk menghadirkan karya keselamatan Allah secara utuh, sehingga kehidupan sesama dipulihkan secara menyeluruh. Namun dalam praktek kehidupan, seringkali karya keselamatan Allah hanya dipahami sebagai ranah rohaniah belaka, sedang bidang yang “sekuler” sering dianggap sebagai bidang yang serba duniawi belaka. Sehingga dalam menyikapi kehidupan ini kita sering mengalami perpecahan batin (sikap yang ambivalen), yang mana kita mungkin mampu bersikap sangat saleh dan religius saat berada di gereja; tetapi kita berubah menjadi monster yang mampu memangsa setiap sesama yang lemah ketika kita berbisnis. Menjadi seorang pemurah hati ketika di gereja, tetapi kita berubah menjadi lintah darat ketika di rumah. Padahal bidang bisnis, ekonomi, hukum, dan pekerjaan sehari-hari juga merupakan bidang-bidang kehidupan yang seharusnya dikuduskan dan menjadi lingkup dari karya keselamatan Allah. Karya keselamatan Allah dan penebusan Kristus pada hakikatnya bertujuan untuk memulihkan dan menguduskan setiap dimensi kehidupan umat manusia.

Apabila orang buta tersebut dapat mengalami karya keselamatan Allah yang holistik atau menyeluruh, ternyata tidak demikian sikap orang-orang Farisi. Mereka tidak dapat melihat karya Kristus yang menyembuhkan orang buta tersebut sebagai karya Allah sebab dianggap karya Kristus tersebut telah melanggar hukum hari Sabat. Itu sebabnya sebagian orang Farisi berkata kepada orang buta, demikian: “Orang ini tidak datang dari Allah sebab Ia tidak memelihara hari Sabat” (Yoh. 9:16). Perlu dipahami bahwa hukum hari Sabat adalah firman Tuhan yang harus ditegakkan dan ditaati oleh manusia. Tetapi ketika hukum hari Sabat itu dilepaskan dari relasi dengan kehidupan dan pergumulan manusia, sehingga menjadi suatu hukum Allah yang dicabut dari konteks kehidupan maka hukum Allah tersebut tidak dapat menjadi hukum yang memerdekakan manusia. Sebaliknya hukum Allah tersebut dapat menjadi suatu belenggu yang menghalangi Allah untuk melaksanakan karyaNya yang membebaskan dan menyelamatkan. Sebagai terang dunia, Kristus memposisikan diriNya melampaui segala ketentuan hukum Allah yang sering dipraktekkan secara kaku dan dipahami menurut standard pemikiran manusiawi belaka. Seperti sifat terang atau cahaya yang selalu menyinari setiap segi dan ruang yang ada di sekitarnya, demikian pula sifat terang dari Kristus. Terang dari Kristus selalu menyinari setiap aspek dan ruang kehidupan umat manusia secara total. Sehingga terang dari Kristus senantisa mampu menyinari dan menembus setiap dimensi kehidupan, baik kehidupan rohaniah dan maupun kehidupan sekuler. Pada sisi lain sikap orang Farisi dalam kasus penyembuhan orang buta sejak lahir hanya menempatkan hukum Allah sebagai suatu ketentuan ilahi dan tidak mampu melihat hukum Allah tersebut sebagai cahaya yang membebaskan, memulihkan dan mengangkat harkat atau martabat manusia.


Apabila kita memperhatikan dengan cermat sikap orang-orang Farisi terhadap orang buta sejak lahir tersebut, maka kita dapat melihat bahwa mereka sama sekali tidak memberikan pertolongan yang nyata atau sesuatu yang berharga untuk kebaikan orang buta tersebut. Mereka hanya bersikap menyalahkan Tuhan Yesus karena Dia telah menyembuhkan orang pada hari Sabat, dan mereka menginterogasi orang buta yang telah sembuh itu. Orang-orang Farisi tersebut tidak berperan untuk melakukan pekerjaan Allah yang menyelamatkan. Sebab bagi mereka makna melakukan pekerjaan Allah hanyalah menegakkan hukum hari Sabat. Dengan demikian pengertian “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan” sekedar melaksanakan dengan setia segala ketentuan hukum hari Sabat. Mereka tidak mampu melihat dimensi yang lebih luas yaitu penerapan “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan” dalam bentuk kasih kepada sesama. Dari sudut institusi keagamaan mereka tampil seperti “penurut-penurut Allah”, tetapi dari sudut kasih mereka belum dapat hidup sebagai “anak-anak terang”. Karena mereka tidak menampilkan suatu moral terpuji (moral excellent) yaitu buah kasih kepada sesamanya. Sehingga dari sudut pemahaman teologis rasul Paulus, sesungguhnya mereka masih hidup dalam kegelapan. Bukankah keadaan orang-orang Farisi tersebut sangat paradoks? Mereka tampil sebagai “anak-anak terang” tetapi sesungguhnya mereka masih hidup dalam kegelapan? Bukankah keadaan kita selaku umat Kristen juga sering demikian? Dari sudut institusi gereja kita adalah umat percaya yang telah ditebus oleh Kristus sehingga kita berhak menyandang gelar sebagai anak-anak Allah. Tetapi dari sudut realita, kehidupan kita ternyata masih berbuahkan kegelapan. Kita tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah yang menyelamatkan dan memulihkan orang-orang di sekitar kita apabila kehidupan kita ditandai oleh sikap yang ambivalen atau kepribadian yang serba paradoks. Dengan perkataan lain, pekerjaan-pekerjaan Allah hanya akan efektif apabila kehidupan kita ditandai oleh integritas diri, yaitu segala hal yang kita ucapkan senantiasa sesuai dengan apa yang kita lakukan. Juga segala hal yang kita yakini dan imani senantiasa sesuai dengan segala hal yang kita perbuat dalam kehidpan sehari-hari.

. Jika demikian kualitas diri yang didasari oleh sikap iman dan kasih adalah yang paling menentukan kita untuk melakukan segala “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan”. Artinya belum tentu semua “kebaikan, keadilan dan kebenaran” yang kita lakukan senantiasa berkenan kepada Tuhan, apabila makna “kebaikan, keadilan dan kebenaran” tersebut tidak lahir dari spiritualitas kasih; tetapi hanya suatu dorongan moral dan peraturan keagamaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Farisi. Bagaimanakah sikap hidup saudara? Apakah saudara melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah karena dilandasi oleh kasih sebagai cermin dari anak-anak terang; ataukah kita melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah karena sekedar dorongan untuk menutupi hal-hal yang buruk dan tingkah laku yang tidak berkenan kepada Allah? Kita semua dipanggil untuk menjadi anak-anak terang, karena Kristus Juru-selamat kita adalah Terang Dunia. Karena itu marilah kita makin teguh dan setia untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai anak-anak terang. Amin.

0 comments: