5:46 PM

Bersedia Dibentuk Menjadi Bejana Allah

Bersedia Dibentuk Menjadi Bejana Allah
Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Tahun C: Minggu, 9 September 2007
Bacaan : Yer. 18:1-11, Mzm. 139:1-6, Phil. 1-22, Luk. 14:25-33

Selaku jemaat Tuhan kita sering berdoa, membahas, dan mendiskusikan bahkan mengupayakan dalam berbagai program gerejawi agar terwujud kedatangan Kerajaan Allah di atas bumi ini, yaitu pemerintahan Allah yang membawa perubahan atau transformasi secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Namun doa dan pembahasan teologis serta berbagai upaya yang dilakukan seringkali masih terhambat oleh sikap mental/spiritualitas kita dalam memperlakukan dan merespon sesama khususnya kepada orang yang pernah melakukan kesalahan. Kita sering gagal memperlakukan sesama dengan kasih dan pengampunan Allah padahal dia sebenarnya sudah menunjukkan sikap pertobatan. Itu sebabnya sering sesama kita tidak dapat memulai hidup baru. Kita telah memberikan suatu stigma negatif yang abadi kepada dirinya. Dalam pengertian ini “stigma” diartikan sebagai: “sign of social unacceptability: the shame or disgrace attached to something regarded as socially unacceptable” (tanda penolakan sosial berupa rasa malu atau aib yang dikenakan kepada seseorang karena pernah melakukan suatu kesalahan). Sehingga dengan pemberian suatu stigma, seseorang atau sekelompok orang tidak pernah mampu membuktikan pertobatan dan kehidupan barunya. Tindakan yang mereka perbuat senantiasa dicurigai dan tidak dipercaya, sehingga seluruh itikad atau maksud baik mereka senantiasa tidak diterima dengan hati yang tulus oleh anggota masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya kita tidak akan pernah mampu mengalami datangnya kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan ini.
Di surat rasul Paulus kepada Filemon, kita dapat melihat bagaimana karya keselamatan Allah yang dinyatakan oleh rasul Paulus kepada seorang budak bernama Onesimus. Tampaknya Onesimus pernah melakukan kesalahan yang fatal kepada tuannya yang bernama Filemon. Kemungkinan Onesimus pernah mencuri atau berhutang dalam jumlah yang sangat besar. Karena Onesimus merasa tidak sanggup atau merasa sangat bersalah, dia kemudian melarikan diri dari tuannya. Tentunya tindakan Onesiumus tersebut sangat merugikan Filemon, tuannya. Tetapi dalam pelariannya itu Onesimus berjumpa dengan rasul Paulus di penjara. Perjumpaan Onesimus dengan rasul Paulus ternyata membawa suatu perubahan besar dalam kehidupan pribadi Onesimus. Karena disaksikan Onesimus akhirnya dapat mengenal dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juru-selamatnya. Bahkan di ayat 10, rasul Paulus menyebut Onesimus sebagai “anaknya”. Lalu di ayat 12 rasul Paulus menyebut Onesimus sebagai “buah hatinya”. Walaupun demikian, rasul Paulus tidak menahan Onesimus untuk dirinya sendiri. Sebaliknya rasul Paulus menyuruh Onesimus kembali pulang kepada tuannya. Lebih dari pada itu agar kredibilitas Onesimus pulih kembali, maka di ayat 18-19 rasul Paulus dengan rela bersedia memberikan jaminan dan ganti rugi kepada Filemon, yaitu: “Dan kalau dia sudah merugikan engkau ataupun berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu kepadaku – aku, Paulus, menjaminnya dengan tulisan tanganku sendiri: Aku akan membayarnya”. Bahkan rasul Paulus dalam suratnya kepada Filemon menyampaikan suatu permohonan: “Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Filemon 1:15-16). Sikap kasih dari rasul Paulus tersebut tentunya akan berhasil untuk menghapus berbagai stigma negatif yang melekat di dalam diri Onesimus. Karena kini selain Onesimus telah menampakkan sikap pertobatannya, rasul Paulus juga telah memberikan suatu jaminan dan sebutan Onesimus sebagai “buah hati” dan “anaknya”.
Seringkali kita selaku umat percaya dengan mantap berdoa “ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Tetapi dalam praktek kita ternyata lebih cenderung dan terampil untuk memberikan stigma negative kepada banyak orang yang kita anggap bersalah. Sangat berbeda sikap rasul Paulus ketika dia menghadapi orang yang sedang bermasalah dan melakukan kesalahan. Rasul Paulus tidak bersikap menghakimi Onesimus, melainkan dia membimbing dengan penuh kasih sehingga akhirnya Onesimus dapat percaya dan menerima Kristus. Rasul Paulus juga mengasihi Onesimus sedemikian rupa sampai dia menyebut Onesimus sebagai buah hati dan anaknya sendiri. Secara khusus pula rasul Paulus meminta kepada Filemon selaku tuannya agar mau menerima Onesimus bukan lagi sebagai seorang budak, tetapi sebagai saudara yang kekasih. Di sini status Onesimus yang dahulu budak diubah oleh rasul Paulus menjadi seorang saudara yang kekasih. Onesimus yang dahulu harus lari karena dia melakukan kejahatan kini dipulihkan statusnya oleh rasul Paulus menjadi seorang yang dapat kembali pulang dengan predikat yang baru di dalam kasih Kristus. Manakala Onesimus kemudian dapat diterima oleh tuannya Filemon sebagai saudara yang kekasih, bukankah ini berarti suatu kemungkinan bahwa status Onesimus tidak lagi dianggap sebagai seorang budak? Sebab bagaimana mungkin Filemon memperlakukan Onesimus yang kembali pulang ke rumahnya sebagai seorang budak sekaligus memperlakukan Onesimus sebagai saudara yang kekasih?
Sikap rasul Paulus tersebut pada hakikatnya merupakan cermin dari sikap kasih Allah sendiri. Di Yer. 18:1-11 Allah memerintahkan nabi Yeremia untuk pergi ke rumah tukang periuk. Ketika nabi Yeremia pergi ke rumah tukang periuk yang sedang bekerja, dia melihat bagaimana bejana yang dibentuk itu rusak atau menjadi bejana yang kurang sempurna, maka tukang periuk itu segera mengerjakannya kembali menjadi bejana yang lebih baik. Atas dasar pengamatan nabi Yeremia itu, Allah kemudian berfirman: “Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!” Dalam karya keselamatanNya, Allah memposisikan peranNya seperti tukang periuk yang sedang mengerjakan bejana. Apabila dalam proses pembuatan bejana tersebut hasilnya ternyata kurang sempurna, maka Allah akan segera membentuk bejana tersebut menjadi lebih baik dan sempurna. Allah tidak akan membiarkan umatNya dalam keadaan rusak dan binasa. Tetapi dengan kerahiman, dan kebijaksanaanNya, Allah senantiasa terus berupaya untuk memulihkan kembali martabat dan harkat manusia yang berdosa. Itu sebabnya karya keselamatan Allah senantiasa terjadi dalam seluruh perjalanan umat manusia. Allah tiada henti-hentinya terus berkarya agar Dia dapat memulihkan dan menyelamatkan umatNya yang berdosa. Pemulihan dan pengampunan Allah terlihat di Yer. 18:8, yaitu: “Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka”. Pada sisi lain bentuk proses pemulihan dan penyelamatan Allah tersebut kadang-kadang juga melalui proses yang sangat menyakitkan. Sebab Allah kadang-kadang menggunakan cara hukuman kepada umatNya yang lebih memilih mengeraskan hati dan tetap hidup dalam dosa.
Di Yer. 18:7, Allah berfirman: “Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan dan membinasakannya”. Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang penuh dengan kerahiman, sehingga Dia berkenan mengampuni dan membatalkan hukumanNya terhadap orang-orang yang berdosa. Tetapi ketika umat tetap berdosa dan mengeraskan hatinya, maka Allah segera menggunakan prinsip kekudusan dan keadilanNya sehingga Dia mencabut, merobohkan dan membinasakannya. Allah memproses umat yang berdosa dengan hukuman dan penderitaan yang sangat berat. Tujuan dari hukuman Allah pada prinsipnya sama sekali bukan untuk menghancurkan atau membinasakan umatNya, justru sebaliknya Allah ingin agar umatNya dipulihkan dan dapat kembali hidup benar di hadapanNya. Seperti tukang periuk yang harus menggiling, membanting dan menggilas tanah liat di tangannya, demikian pula Tuhan kadang-kadang juga harus menggiling, membanting dan menggilas umatNya yang mengeraskan hatinya agar mereka dapat dibentuk menjadi bejana yang indah. Dalam konteks ini makna penderitaan dan kesakitan sebagai hukuman Allah sebenarnya merupakan suatu rahmat. Sebab manakala kita tidak mengalami penderitaan dan kesakitan akibat perbuatan dosa kita, sesungguhnya kita akan mengalami kebinasaan kekal. Sebab ini berarti Allah telah meninggalkan dan membuang kita. Tetapi ketika kita diperkenankan oleh Allah untuk diproses, dibentuk dan ditempa oleh berbagai penderitaan akibat dosa dan kesalahan seharusnya kita amini bahwa Allah sangat menyayangi dan ingin menolong kita agar kita memiliki masa depan dan kehidupan yang lebih berkualitas sebagai anak-anakNya. Khususnya melalui karya Kristus, Allah menyatakan kasihNya dengan merangkul manusia yang berdosa dan mengangkat kita semua sebagai anak-anakNya sendiri, yaitu sebagai buah hatiNya. Namun, bagaimanakah agar kita selaku umat percaya dapat diproses dan dibentuk tanpa harus mengalami hukuman Allah? Bagaimana sikap kita yang seharusnya agar kita dapat menjadi tanah yang liat sehingga kehidupan kita mudah dibentuk sebagai bejana yang indah di hadapan Allah dan sesama?
Kita tidak dapat dibentuk dan diproses oleh Allah sebagai tanah yang liat untuk menjadi bejana yang dikehendakiNya manakala kita tetap mengeraskan hati terhadap firmanNya dan hidup kita lebih lekat kepada hal-hal yang duniawi. Makna “lekat” kepada yang duniawi berarti orientasi hidup kita menempatkan segala hal yang duniawi sebagai yang paling menentukan, sehingga Allah diabaikan dan kuasaNya direlatifkan. Itu sebabnya kehidupan kita lebih banyak dipengaruhi, diwarnai, dan didominasi oleh segala hal yang duniawi sehingga kehidupan kita tidak lagi memancarkan sebagai gambar dan rupa Allah. Kita tidak hidup sebagai buah hati atau anak-anak Allah, tetapi sebaliknya sebagai buah hati dan anak-anak dari kuasa dunia ini. Akibatnya kehidupan kita menjadi rusak total dan jauh dari kemuliaan Allah. Jenis spiritualitas kita tidak menjadi tanah liat yang lentur dan mudah dibentuk tetapi justru spiritualitas kita sering menjadi tanah yang keras sehingga tidak mungkin lagi dapat dibentuk menjadi sebuah bejana sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Jadi kekerasan hati dan kelekatan roh kita kepada hal-hal yang duniawi menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk mengalami keselamatan dan proses pembaharuan yang dikerjakan oleh Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus memanggil kita untuk memahami dan mempraktekkan makna memikul salib. Di Luk. 14:27, Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Makna memikul salib di sini jelas menunjuk kepada kesediaan untuk menerima beban dari Kristus, dan bukan menerima dan memikul berbagai beban dosa. Ketika kita menerima dan memikul beban dari Tuhan, beban tersebut memang sangat berat tetapi senantiasa membebaskan dan menyelamatkan. Sebaliknya ketika kita memikul beban dosa, beban tersebut umumnya ringan dan menyenangkan tetapi senantiasa membawa kita kepada kebinasaan dan hukuman Allah.
Salah satu bentuk kelekatan yang menghalangi kita kepada proses pembentukan Allah adalah cinta kita yang berlebihan kepada para anggota keluarga, nyawa dan harta milik kita. Kita sering menempatkan keluarga, nyawa dan milik kita sedemikian penting, sehingga mereka sering menjadi penguasa atas hidup kita. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Jikalau seorang datang kepadaKu, dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudara laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk. 14:26). Tentu perkataan ucapan Tuhan Yesus dengan ungkapan “membenci” di sini bukanlah dalam pengertian yang sebenarnya. Lebih tepat makna kata “membenci” di sini justru lebih menunjuk kepada pengertian “mengasihi lebih dari pada apapun”. Sehingga barangsiapa yang mengasihi ayah, ibu, isteri, anak-anak, saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan nyawanya sendiri lebih dari apapun juga, maka dia tidak layak untuk mengikut Tuhan Yesus. Sebab seseorang yang mengasihi para anggota keluarga, nyawa dan harta miliknya lebih dari pada apapun juga pastilah seorang yang tidak ingin menaklukkan diri di bawah kehendak Allah. Dia akan lebih cenderung ingin memberlakukan keinginan dan orientasi hidupnya sebagai yang paling utama. Kita dapat melihat dalam perjalanan sejarah ketika seseorang menempatkan para anggota keluarganya sebagai yang paling utama, yaitu munculnya sikap nepotisme atau dinasti keluarga yang cenderung untuk mengidolakan para anggota keluarga sehingga melahirkan berbagai tindakan yang a-sosial. Atau seseorang yang terlalu mencintai nyawanya sendiri sehingga melahirkan sikap egoisme diri, dan rasa cinta yang berlebihan kepada etnisnya sendiri melahirkan sikap rasialisme; rasa cinta yang berlebihan kepada bangsanya sendiri melahirkan sikap chauvinisme. Demikian pula rasa cinta kepada uang dan materi yanga berlebihan akan melahirkan sikap materialisme. Semua sikap tersebut terwujud dalam realita kehidupan manusia karena kita tidak menempatkan Allah sebagai satu-satunya pusat kehidupan kita.
Onesimus sebelumnya sempat menjadikan harta milik atau uang sebagai yang paling utama sehingga dia berani melakukan tindakan yang merugikan tuannya. Tetapi ketika dia berjumpa dengan rasul Paulus, sehingga dia mengenal kasih Allah di dalam Kristus, Onesimus bersedia bertobat dan mengalami kehidupan yang baru. Dia sama sekali tidak mengeraskan hati, tetapi Onesimus membiarkan kuasa kasih Kristus bekerja untuk mentransformasikan kehidupannya. Keadaan akan berbeda manakala Onesimus waktu itu tetap mengeraskan hati dan tidak mau bertobat. Proses pemulihan yang dilakukan Allah kepadanya mungkin menjadi sangat panjang dan berliku. Lebih dari pada itu proses pemulihan yang dikerjakan Allah di dalam hidup Onesimus mungkin sangat menyakitkan dan memalukan. Tetapi syukurlah Onesimus bersedia membuka hatinya dan bertobat. Sehingga dia kini bukan hanya dapat kembali ke rumah Filemon; tetapi juga dia dianggap sebagai buah hati dan anak dari rasul Paulus, bahkan Onesimus tidak dianggap oleh Filemon sebagai seorang budak, tetapi dia dapat menjadi saudara kekasih di dalam Kristus. Dalam hal ini Onesimus dapat menjadi sebuah bejana yang bersedia dibentuk oleh Allah menurut kehendak dan rencanaNya. Karena dia bersedia membuka seluruh hatinya terhadap pekerjaan Roh Kudus, dan dia bersedia untuk melepaskan segala kelekatan duniawi agar dia dapat mengikut Kristus dengan paradigma yang baru. Bagaimana dengan kehidupan saudara? Apakah hidup saudara menjadi bejana yang siap dibentuk oleh Allah? Marilah kita belajar melepaskan segala kelekatan diri terhadap hal-hal yang duniawi ini, sehingga kita dapat menjadi murid Kristus yang selalu lentur untuk diproses dan dibaharui sebagai bejana di tangan Allah. Amin.

1 comments:

Anonymous said...

woori casino: No deposit bonus codes | | Woori Casino
Woori Casino is a popular online casino with a rich selection 더킹카지노 of top games for every dafabet link budget. Get exclusive welcome bonus, 우리카지노 play